Menjawab Kemiskinan Dengan Sosial Capital
Melalui Penguatan Organisasi/Kelembagaan
(Tinjauan Program P2SEDT sebagai salah satu kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia)
Latar belakang dan Arah Kebijakan Program
Bercermin dari perjalanan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia, kita mengenal banyak sekali program yang telah dilaksanakan maupun masih berjalan yang diarahkan pada pengentasan kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan menjadi agenda kebijakan penting karena secara moral pemerintah harus mengemban tanggung jawab sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 yang secara eksplisit memberi amanat kepada pemerintah untuk melindungi hak-hak warga negara. Oleh karena itu menurut Muhadjir[1] (dalam Arjani, “Feminisasi Kemiskinan Dalam Kultur Patriaki”), jika pemerintah melalaikan masalah kemiskinan berarti pula pelanggaran terhadap konstitusi. Untuk itu pemerintah melaksanakan berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui program-program tertentu yang berevolusi dan berkembang terus dari waktu kewaktu. Pada masa orde baru misalnya, program Inpres Desa Tertingal (IDT) begitu terkenal sebagai salah satu program penanggulangaan daerah miskin yang diistilahkan dengan sebutan yang lebih halus “daerah tertinggal”. Pada masa krisis ekonomi pernah digulirkan program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE) yang secara spesifik ditujukan untuk mencegah, mengurangi peningkatan jumlah penduduk miskin mengantisipasi dampak krisis ekonomi bagi warga miskin. Dan program yang paling populer di masa sekarang adalah PNPM-Mandiri, yang juga merupakan suatu program yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat mandiri. Begitu bervariasinya program yang dilaksanakan pemerintah dalam upaya mengentaskan kemiskinan namun pada kenyataanya kondisi masyarakat miskin (tertinggal) di Indonesia berdasarkan sebaran wilayah kabupaten masih tergolong tinggi khususnya di bagian Indonesia Timur. Dari sejumlah 199 kabupaten tertinggal di Indonesia, data menunjukkan bahwa sebanyak 123 kabupaten atau 63% daerah tertinggal berada di kawasan Timur Indonesia, 58 kabupaten atau 28% berada di Pulau Sumatera, dan 18 kabupaten atau 8% berada di Pulau Jawa dan Bali[2].
Bila dikaitkan dengan teori kemiskinan, hal ini sesuai dengan teori Regional Imbalance[3], dimana keterbelakangan daerah dan ketimpangan antar daerah sebagai sesuatu yang inherent atau melekat dalam mekanisme pasar. Penerapan penyerahan perekonomian pada mekanisme pasar itulah yang secara mutlak menghasilkan kondisi kemiskinan pada daerah-daerah yang kalah bersaing. Hal ini dapat dijelaskan bahwa mekanisme pasar berakibat pada eksodus modal, tenaga kerja dan keuntungan yang dihasilkan kawasan pinggiran (luar jawa) memasuki ‘core regions’ sehingga yang paling menikmati hasil dari eksploitasi daerah-daerah pinggiran adalah daerah pusat. Lebih spesifik lagi kondisi ini bisa dijelaskan oleh Skenario Centripetal tendency[4] yaitu mengalirnya faktor modal, tenaga kerja dan keuntungan kekawasan pusat akibat pembiaran pasar. Kecenderungan centripetal hanya dapat dikoreksi dengan penyediaan peluang ekonomi di luar core regions, dan hal ini merupakan kewajiban negara untuk menciptakannya melalui program-program untuk memperkecil kesenjangan atau mengurangi dampak dari kecenderungan centripetal akibat mekanisme pasar. Tentunya hal ini dapat terlihat dari kebijakan pembentukan kementerian Negara PDT dengan berbagai programnya.
Melalui Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal dilaksanakan program-program untuk mempercepat pengurangan kesenjangan perkembangan antar daerah di Indonesia khususnya antara wilayah Indonesia Barat dan Timur yaitu dengan membuat beberapa program, diantaranya:
1. Program Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP).
2. Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK).
3. Program Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT).
4. Program Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT).
5. Program Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal (P4DT).
6. Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT).
Pada tulisan ini akan membahas salah satu program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan Kementerian PDT yakni Program Percepatan Pembangnan Sosial Ekonomi daerah Tertinggal (P2SEDT). Program P2SEDT di launching oleh Presiden SBY pada tahun 2007[5] dan ditetapkan dengan tujuan untuk melakukan penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya pembangunan. Secara terinci program P2SEDT ini memiliki tiga tujuan utama yakni :
- Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam menganalisis kondisi aktual yang terjadi pada lingkungannya, merumuskan masalah dan memanfaatkan peluang yang ada;
- Untuk meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan yang tumbuh, berkembang dan mengakar di masyarakat dalam proses pembangunan yang partisipatif di tingkat desa;
- Untuk mengembangkan mekanisme pengelolaan sumber daya pembangunan secara berkelanjutan demi kesejahteraan masyarakat.
Ruang lingkup kegiatan peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat melalui Instrumen/Program P2SEDT difokuskan pada kegiatan utama[6] yang terdiri dari:
- Bimbingan dan pelatihan menyangkut aspek kepemimpinan, kewirausahaan, pemberdayaan, serta perencanaan dan pengendalian;
- Penyebarluasan informasi kebijakan dan program pembangunan daerah tertinggal;
- Persiapan administrasi dalam rangka penerimaan bantuan sosial;
- Verifikasi terhadap proposal lembaga calon penerima bantuan sosial oleh Tim P2SEDT;
- Rekomendasi kepada lembaga yang telah lulus verifikasi;
- Penetapan lembaga penerima bantuan melalui SK Deputi IV Bidang Penguatan Kelembagaan dan Pendidikan atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA);
- Penanganan pengaduan masyarakat atas pelaksanaan kebijakan dan program pembangunan daerah tertinggal;
- Monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan;
- Mengembangkan mekanisme keberlanjutan atas hasil-hasil pelaksanaan kebijakan dan program pembangunan daerah tertinggal;
- Mengembangkan sistem pelaporan dan evaluasi secara komprehensif yang berbasis teknologi;
- Pelaporan kegiatan penguatan kelembagaan.
Keluaran sebagai sesuatu yang diharapkan dari kegiatan Instrumen/ Program P2SEDT ini yaitu berupa:
- Terbina, berkembangnya dan makin kuatnya kelembagaan dalam masyarakat;
- Meningkatnya kerja sama antar kelompok;
- Terbangunnya pengetahuan berorganisasi dan menguatnya kelembagaan di masyarakat setempat;
- Meningkatnya keterampilan warga lokal;
- Meningkatnya produktivitas dan kapasitas kelembagaan masyarakat lokal.
Dari keseluruhan ruang lingkup dan keluaran yang diharapkan dalam pelaksanaan program P2SEDT ini pada intinya mengarah pada penguatan kerjasama dan integrasi wilayah dalam suatu kawasan pada level desa agar masyarakat didalamnya mampu mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok kecil yang nantinya tergabung dalam kelompok yang lebih besar guna menentukan arah dan kebijakan pembangunan di wilayahnya masing-masing.
Sebagai hasil inisiasi dan konsolidasi atas kelembagaan yang sudah ada, maka dibentuklah organisasi pada tingkat desa dengan nama Kader Penggerak Pembangunan Satu Bangsa (KPPSB) yang merupakan suatu forum agen-agen perubahan menuju kesetaraan desa. Pemilihan dan pembentukan pengurus KPPSB difasilitasi oleh Tim Fasilitator Desa (TFD) dan ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati. Struktur KPPSB terdiri atas:
- Penasihat,
- Ketua,
- Sekretaris,
- Bendahara,
- Seksi Ekonomi,
- Seksi Sosial,
- Seksi Infrastruktur.
Struktur KPPSB juga boleh dilengkapi dengan anggota yang bersifat swadaya. Tugas dari KPPSB adalah:
- Melakukan sosialisasi dan publikasi program kepada Organisasi Masyarakat Setempat (OMS) dan atau kelompok masyarakat;
- Melakukan pendataan dan pemetaan masalah-masalah pembangunan desa secara partisipatif sebagai bahan penyusunan perencanaan pembangunan desa, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang;
- Menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat tentang program pembangunan di desa;
- Melakukan upaya pemeliharaan dan pengembangan aset Instrumen/Program yang telah dilaksanakan di desa;
- Menyelenggarakan administrasi keuangan dan membuat laporan kegiatan KPPSB.
Fungsi KPPSB adalah:
- Memfasilitasi pemilihan kelompok masyarakat penerima/pemanfaat program sesuai kriteria, syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku (sesuai juklak masing-masing Instrumen/Program) untuk diusulkan penetapannya oleh kepala daerah sebagai KPPSB pelaksana/penerima Instrumen/Program di desa;
- Memfasilitasi penyusunan proposal pembangunan di desa;
- Memfasilitasi dan membantu KPPSB pelaksana/penerima Instrumen/Program dalam membuat laporan keuangan, perkembangan fisik sesuai ketentuan;
- Mengorganisasikan seluruh kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal atau KPDT di desa.
Kesinambungan program merupakan suatu proses untuk mengupayakan agar hasil-hasil pelaksanaan kebijakan dan program pembangunan daerah tertinggal dapat terpelihara dan dikembangkan sehingga berdampak bagi kesejahteraan masyarakat. Penguatan kelembagaan masyarakat melalui Instrumen/Program P2SEDT harus dijamin dapat memberi manfaat kepada masyarakat secara berkesinambungan. Begitu kegiatan pembangunan baik dalam bidang fisik maupun non fisik selesai, pemanfaatannya harus segera diupayakan secara maksimal agar penerima manfaat dapat menikmatinya.
Kegiatan P2SEDT dan Capaian Program
Program P2SEDT merupakan penjabaran dari Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (Stranas PPDT), yang mempunyai lima prioritas dalam pengembangan kawasan tertinggal. Dua dari prioritas Stratanas PPDT 2004/2009 yakni pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kapasitas kelembagaan adalah dasar dari lahirnya P2SEDT. Secara skema kegiatan P2SEDT dapat digambarkan sebagai berikut.
Skema pelaksanaan Program P2SEDT
dalam sebuah desa model
Desa Model diintervensi 2-4 Kegiatan Instrumen KPDT |
Kedepan, Desa Model diintervensi oleh seluruh stakeholder |
DESA MODEL |
|
TAHAP INISIASI
DESA MODEL |
Terlihat begitu jelas dalam skema diatas bahwa kegiatan P2SEDT merupakan suatu program yang mengintegrasikan seluruh kegiatan Kementrian Negara PDT beserta program lainnya baik yang dilaksanakan kementerian lainnya, lembaga pemerintah non-departemen, pemerintah daerah, masyarakat, maupun swasta dalam sebuah desa tertinggal. Pada awalnya sebuah desa tertinggal yang dijadikan sebagai model akan diintervensi dengan dua sampai empat kegiatan Kementerian Negara PDT seperti Program Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP), Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), Program Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT), Program Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal (P4DT), Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT). Semua kegiatan intervensi itu terhimpun oleh Program Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT), dan setelah beberapa tahun hingga desa itu siap untuk diintervensi dengan semua stakeholder hingga mencapai kesetaraan dengan daerah-daerah maju di sekitarnya.
Secara teknis, kegiatan Program P2SEDT ini ditujukan kepada seluruh kabupaten yang termasuk dalam kategori daerah tertinggal sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal No 7 tahun 2007 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah tertinggal dengan total kabupaten tertinggal berjumlah 199 kabupaten. Bantuan yang diberikan adalah berupa dana stimulan untuk pembentukan organisasi pada tiap-tiap desa di kawasan tertinggal, dengan rincian setiap kabupaten mendapat jatah bantuan 10 desa, setiap desa mendapat dana stimulan sejumlah 10 juta rupiah. Pada tahun 2007 kegiatan ini baru di launching oleh presiden SBY dan belum ada data mengenai perkembangan program ini. Baru kemudian secara intensif pada tahun 2008 berhasil membentuk sejumlah 1399 kelompok KPPSB dan menggerakkan 5.000 forum rembug desa, tersebar di 148 kabupaten, 31 propinsi. Sementara perkembangan selanjutnya, jumlah dana yang dianggarkan untuk tahun 2008 sejumlah total 14 milyar sedangkan untuk tahun 2009, dianggarkan dana sejumlah 64 milyar[7].
Menyongsong tahun anggaran 2008-2009, KPDT telah mendesain program prioritas yang diusung melalui tema Green Development[8] yang meliputi lima prioritas, yang salah satunya adalah green movement. Green Movement (Kader Penggerak Pembangunan Satu Bangsa - KPPSB) menggunakan konsep Pembangunan Daerah Tertinggal yang mempunyai sasaran penguatan kelembagaan karena dirasakan selama ini kelembagaan yang ada kurang dimanfaatkan sebagai motor penggerak pembangunan daerah tertinggal. Pelaksanaannya melalui program peningkatan kapasitas kelembagaan dengan kegiatan P2SEDT dengan lokasi di daerah tertinggal. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang. P2SEDT akan melakukan investasi SDM sebanyak lebih kurang 15.000 kader di daerah tertinggal yang diharapkan akan menjadi motor penggerak pembangunan di daerah masing-masing pada masa mendatang.
Organisasi lokal dapat menjadi motor penggerak kemajuan suatu daerah. Oleh karena itu penguatan institusi lokal, seperti tujuan kegiatan P2SEDT perlu dilakukan dengan membentuk organisasi baru ataupun capacity building bagi organisasi yang telah ada[9]. Melalui pembentukan organisasi, masyarakat dapat berperan aktif dalam proses pembangunan daerah mereka karena hubungan kerjasama berupa collective action dalam organisasi itu merupakan social capital yang belakangan ini disadari sebagai salah satu modal yang dapat menunjang kegiatan perekonomian suatu kelompok masyarakat. Partisipasi juga harus melibatkan seluruh stakeholder terkait dan seluruh level pemerintahan sehingga akan muncul rasa memiliki terhadap program yang dijalankan. Partisipasi ini harus dimulai sejak awal, mulai dari perancangan program hingga pengambilan keputusan serta implementasi dilapangan. Pada tahap monitoring dan evaluasi diharapkan terdapat lembaga di tiap level daerah dengan dilengkapi tenaga terlatih dan peralatan yang memadai sehingga mampu menghasilkan manajemen yang transparan dan akuntabel.
Penguatan Kelembagaan sebagai Modal Sosial
Program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan Kementerian PDT memalui Program Percepatan Pembangnan Sosial Ekonomi daerah Tertinggal (P2SEDT) bertujuan untuk melakukan penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya pembangunan. Dari tujuan yang ingin dicapai ini didasarkan atas kesadaran bahwa pembangunan yang dilakukan tidak hanya pada penguatan kegiatan ekonomi semata, tapi bagaimana membangun dan menguatkan kelembagaaan yang sudah ada dan hidup di masyarakat untuk menopang kegiatan-kegiatan pembangunan kesejahteraan masyarakat sehingga mampu melepaskan mereka dari kemiskinan. Kelembagaan[10] atau Institusi diartikan sebagai serangkaian norma, nilai, aturan-aturan yang memfasilitasi (enabling) atau menghambat (constraining) perilaku individu maupun organisasi baik yang bebrbentuk formal maupun informal.
Pengentasan kemiskinan yang selama ini berfokus pada peningkatan kegiatan ekonomi yang mengesampingkan faktor-faktor penunjang lainnya banyak menemui kegagalan. Hal ini terlihat dari tidak berkurangnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Banyak pakar yang memberikan kritik terhadap ilmu ekonomi yang mengasumsikan manusia sebagai mahluk ekonomi, dimana segala sesuatu dipertimbangkan untung dan ruginya secara ekonomi. Carl Menger (1871)[11] mengkritik asumsi tentang “economic man” dengan lebih menganjurkan penggunaan pendekatan yang lebih realistik tentang perilaku manusia (human behavior). Menurutnya perilaku manusia tidaklah semata-mata dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi tapi dipengaruhi oleh “societal institutional forces”. Lebih lanjut Gustav Schmoller (1900-1904) melancarkan kritik bahwa ilmu ekonomi berkerja dalam konteks lingkungan sosial ekonomi tertentu yang dibentuk oleh “a set of cultural and historical forces”. Dari kritik Gustav Schmoller ini dapat dijelaskan bahwa lingkungan sosial juga berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi, dan tidak semata-mata dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi seperti yang dikemukakan oleh Carl Menger. Kekuatan kelembagaan sosial juga memberikan pengaruh terhadap jalannya perekonomian dan penggunaan modal sosial yang sifatnya enabling dapat menjadikan kegiatan pembangunan ekonomi menjadi lebih efektif dan efisien.
Daman Huri, dkk menjelaskan bahwa secara sosiologis, dimensi struktural kemiskinan dapat ditelusuri melalui institutional arrangements yang hidup dan berkembang dari masyarakat Indonesia[12]. Asumsi dasarnya adalah bahwa kemiskinan tidak semata-mata berakar pada kelemahan diri sebagaimana dipahami dalam perspektif kultural. Kemiskinan seperti ini justru merupakan dampak dari pilihan strategi pembangunan ekonomi yang selama ini dijalankan. Pada awalnya di negara-negara berkembang kemiskinan diukur dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar yang dinyatakan dalam ukuran kebutuhan hidup minimum atau kebutuhan kalori yang berimplikasi pada pendekatan yang digunakan untuk mengentaskan kemiskinan tersebut sehingga kebijakan penanggulangannya adalah dengan pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang diukur dalam GNP atau dalam peningkatan pendapatan perkapita. Namun pengalaman menunjukkan bahwa peningkatan produk domestik bruto tidak dengan sendirinya membawa peningkatan standar hidup masyarakat secara keseluruhan maupun individu. Hal ini karena pertumbuhan penduduk di negara berkembang jauh lebih besar dibandingkan tingkat pertumbuhan ekonominya sehingga secara komparatif tidak memberikan peningkatan taraf hidup secara signifikan. Ketidakadilan dan struktur ekonomi yang tidak berpihak kepada kaum miskin membuat output pertumbuhan tersebut tidak terdistribusi secara merata. Dalam teori trickle down effect yang mendasi kebijakan itu tidak berlaku sepenuhnya karena peningkatan perekonomian hanya akan menetes pada lapisan masyarakat tertentu yang secara komparatif memiliki pengetahuan, keterampilan, daya saing dan absorptive capacity yang lebih baik. Sementara mereka yang benar-benar miskin mengalami apa yang disebut sebagai kemiskinan absolut sangat jarang menikmati hasil pembangunan tersebut.
Dalam pelaksanaan pembangunan (dalam hal ini pengentasan kemiskinan) dapat memanfaatkan berbagai jenis capital[13] (Piere Bourdieu, 1985) :
· Economic Capital : berupa kepemilikan faktor-faktor produksi berupa modal uang, alat-alat produksi, dll.
· Cultural-Symbolic Capital : sikap dan perilaku tertentu yang terbentuk melalui proses sosialisasi yang panjang, diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
· Social Capital : intinya adalah Jaringan Sosial (Social Networks).
Namun selama ini perhatian terhadap social capital atau modal sosial dirasa masih kurang. Baru kemudian pada pelaksanaan program P2SEDT yang secara (sebatas) konsep memandang bahwa penguatan kelembagaan sebagai salah satu modal sosial dapat digunakan sebagai salah satu solusi untuk mengurangi atau bahkan mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Pengertian mengenai modal sosial dapat dijelaskan oleh berbagai definisi yang diberikan oleh para pakar seperti Putnam, Fukuyama, Coleman, Bourdieu dll[14]. Putnam, Fukuyama, Coleman maupun Bourdieu sepakat bahwa modal sosial merupakan sebuah sumber daya (resource). Namun demikian, Coleman cenderung memandang modal sosial sebagai sumber daya-sumber daya sosial yang tersedia bagi individu-individu dan keluarga untuk mencapai mobilitas sosial dan merupakan sumber daya yang bisa memfasilitasi individu dan keluarga memiliki sumber daya manusia (human capital) yang memadai. Menurut pandangan Putnam modal sosial dilihat sebagai sokongan bagi terciptanya masyarakat sipil (civil society) dan sesuatu yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembentukan institusi-institusi demokratis. Lalu Putnam mengidentifikasi tiga hal yang tercakup dalam modal sosial, yakni trust (kepercayaan), norms (norma), dan networks (jejaring). Sejalan dengan Putnam, Fukuyama memandang modal sosial sebagai trust, kemampuan orang-orang (masyarakat) bekerja bersama untuk tujuan umum (collective action) dalam kelompok atau organisasi. Bourdieu mendefinisikan modal sosial dengan memberikan penekanan pada jejaring sosial (social networks) yang memberikan akses terhadap sumber-sumber daya kelompok . Dengan memiliki akses terhadap sumber daya kelompok (group resources) diharapkan seorang individu pada akhirnya akan menikmati manfaat ekonomis. Manfaat ekonomis ini hanya akan dinikmati individu apabila individu tersebut secara terus-menerus terlibat dalam kelompok tersebut.
Dari berbagai penjelasan mengenai modal sosial oleh pakar-pakar diatas dapat dikatakan bahwa modal sosial yang dapat berbentuk kepercayaan, norma dan jejaring merupakan sesuatu yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dalam suatu kelompok atau organisasi. Penguatan kelembagaan masyarakat lokal sebagai tujuan program P2SEDT dapat dikatakan sebagai salah satu pembentukan modal sosial (meminjam istilah Daman Huri dkk yakni sebagai institutional arrangements) yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam upaya melepaskan diri dari jeratan kemiskinan. Pembentukan organisasi di level terbawah (tingkat desa) merupakan suatu pembentukan modal sosial yang memperkokoh fondasi perekonomian kelompok masyarakat dan jaringan antar kelompok ini secara kolektif akan mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat tersebut melalui kegiatan ekonomi yang lebih efisien.
Bagaimana Modal Sosial Menjawab Problema Kemiskinan (melalui program P2SEDT)
Menjawab problema kemiskinan sebenarnya harus di telusuri dari akar penyebab mengapa individu atau kelompok masyarakat menjadi miskin. Menurut Susetiawan[15] selama ini penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang meliputi rehabilitasi, jaminan sosial, pemberdayan sosial dan perlindungan sosial menjadi dominasi sektor publik yang dilakukan oleh organisasi publik (negara). Konsep kesejahteraan adalah dominasi keputusan organisasi formal negara, masyarakat maupun organisasi ekonomi dan bukan sebuah institusi kesejahteraan masyarakat (communitarian welfare) yang terpola dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Lebih lanjut Susetiawan mengatakan bahwa ditengah situasi ketidakberdayaan masyarakat melawan konstruksi neoliberalisme, ide untuk membangkitkan kembali kekuatan komunitas sangat diperlukan. Membangun institusi sosial (pattern of social relationship) yang dianggap mendukung kesejahteraan bagi komunitas menjadi sangat penting artinya untuk pembangunan bangsa, dan bukan menghilangkan institusi tradisional yang berbasis komunitas menjadi berbasis individu.
Kondisi kemiskinan yang terjadi di Indonesia selain ditinjau dari teori Regional Imbalance juga bisa kita tinjau dari teori struktural dependency. Menurut teori ini ketimpangan (baca: kemiskinan) adalah harga yang harus dibayar akibat dari pembangunan pusat yang kapitalis. Perekonomian kapitalis pada dasarnya bertujuan bagaimana menumpuk modal ekonomi sebanyak-banyaknya untuk memperoleh keuntungan untuk menambah modal itu sendiri. Hal ini yang menyebabkan kegiatannya selalu terkait dengan eksploitasi sumber-sumber ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang paling maksimal tanpa memperhitungkan eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari kegiatan itu. Menurut Susetiawan pembangunan yang selama ini dilakukan di Indonesia adalah ide dari negara maju yang jauh terlebih dahulu berkembang dengan paham kapitalis indutrialnya (industrial capitalisme) yang pada tahap tertentu membutuhkan perluasan pasar (market expantion)[16]. Hal itu dilakukan dengan memberikan bantuan dana kepada negara-negara berkembang melalui lembaga keuangan internasional yang disalurkan dalam proyek-proyek pembangunan berkedok pengentasan kemiskinan.
Lebih jauh lagi struktural dependency ini dijelaskan oleh teori Gunder Frank yang mengatakan bahwa keterbelakangan adalah produk tunggal dari proses sejarah pertumbuhan kapitalisme. Dalam teori Gunder Frank menjelaskan problematika kemiskinan melalui konsep “metropolis-satelit”. Hubungan asimetris antar negara dimana “metropolis” (dalam hal ini adalah negara-negara sponsor seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa) memonopoli atas keseluruhan jalinan yang terjadi, terutama pada aktivitas ekonomi pada “satelit” (negara-negara berkembang termasuk Indonesia) yang pada ujungnya melahirkan kemiskinan. Bukan hanya sampai pada hubungan eksploitasi antara negara maju dengan negara berkembang, bahkan hubungan asimetris mereproduksi diri tidak berakhir pada hubungan antar negara, tetapi hingga pada level daerah dalam suatu negara (hubungan eksploitatif berjenjang) seperti bagaimana Jakarta mengeksploitasi daerah-daerah penghasil tambang yang sangat jelas kita temui pada masa orde baru.
Untuk menjelaskan bagaimana bekerjanya modal sosial dalam membebaskan kelompok masyarakat dari belenggu kemiskinan kita bisa merefleksi pada latar belakang munculnya grameen bank yang digagas oleh Muhammad Yunus dalam rangka memerangi kemiskinan di Bangladesh. Pada awalnya teknis pemberian bantuan kredit grameen bank bagi masyarakat miskin (khususnya para perempuan) dilakukan dengan membentuk kelompok yang terdiri dari lima orang anggota. Kegiatan dimulai dari perekrutan anggota sejumlah lima orang dalam satu kelompok, kemudian pinjaman akan diberikan kepada dua anggotanya. Baru kemudian setelah melakukan cicilan pembayaran reguler selama enam minggu maka dua anggota berikutnya akan memperoleh pinjaman dan satu orang terakhir menjadi ketua kelompok tersebut memperoleh pinjaman terakhir. Jika seseorang tidak mampu atau tidak mau membayar kembali pinjamannya, kelompoknya akan dianggap tidak layak memperoleh kredit yang lebih besar di tahun berikutnya sampai masalah pembayaran ini bisa ditangulangi. Hal ini menciptakan insentif yang sangat kuat bagi peminjam untuk saling membantu memecahkan masalah dan yang lebih penting lagi ntuk mencegah timbulnya masalah kelompok. Diantara satu “sentra” (sebutan untuk delapan kelompok kecil (kelompok 5 orang)dalam satu desa) dapat meminta bantuna kepada kelompok yang lainnya. Seluruh kegiatan yang dikelola di “sentra” ini dilakukan secara terbuka untuk mengurangi bahaya korupsi, salah kelola dan salah paham. Hal ini membuat hubungan diantara sesama anggota dapat terjaga dengan baik, tidak ada rasa saling mencurigai[17].
Dalam konsep grameen bank ini sangat jelas terlihat bagaimana pengentasan kemiskinan dilakukan secara berkelompok, dimulai dari kelompok kecil hingga kelompok besar. Sistem kerjanya pun didasarkan atas kerjasama antar anggota yang bisa dipandang sebagai suatu tindakan kolektif. Terbangunnya kepercayaan antar anggota dan antar kelompok serta antara kelompok dengan lembaga pemberi kredit merupakan suatu jaringan (network) yang kuat yang dijadikan sebagai modal utama dalam melepaskan belenggu kemiskinan dalam kelompok masyarakat itu sendiri. Selain itu melalui pembentukan kelompok-kelompok masyarakat juga dapat mengajarkan kepada anggotanya bagaimana tanggung jawab yang harus diemban oleh masing-masing anggota dan secara kolektif oleh organisasi tersebut. Hal ini dapat dipandang sebagai upaya capacity building maupun pembangunan suatu institusi atau organisasi yang didasarkan pada kerjasama, rasa saling percaya, kerja keras, dan jejaring untuk mengangkat taraf kehidupan para anggotanya. Bila dibandingkan konsep ini sejalan dengan tujuan program P2SEDT yakni penguatan kelembagaan lokal dalam masyarakat melalui pemberdayaan kelompok masyarakat ataupun masyarakat adat setempat.
Pelaksanaan program P2SEDT merupakan suatu program yang digulirkan untuk bisa mengintegrasikan kegiatan-kegiatan pengentasan lainnya baik yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara PDT maupun program-progam departemen lainnya yang sama-sama bertujuan mengentaskan kemiskinan. Penguatan kelembagaan yang berakar dari masyarakat itu sendiri diharapkan mempu mensinergikan semua program pembangunan di desa tersebut dengan melibatkan partisipasi warga lokal mulai dari tingkat perancangan program, pelaksanaan dan yang tidak kalah penting bagaimana memanfaatkan pembangunan yang telah ada agar bisa berkelanjutan dan memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat luas. Secara lebih besar program ini mampu mengintegrasikan program pembangunan dalam wilayah yang lebih luas, misalnya pada beberapa desa yang tergabung menjadi suatu kawasan perkebunan, pertanian, peternakan maupun sentra industri berskala rumah tangga. Nantinya diharapkan melalui program ini bisa meningkatkan kemampuan suatu kawasan atau daerah sehingga tidak lagi termasuk dalam daerah tertinggal.
Pengenalan metode organisasi modern (disertai dengan struktur formal dengan tugas dan fungsi yang jelas) yang diinisiasikan kedalam KPPSB dalam suatu desa diharapkan mampu memberikan kontribusi positif serta menjadi pelengkap atas kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh organisasi atau lembaga adat yang memang sudah ada dan berkembang di daerah tersebut, bukan bertujuan untuk mematikan lembaga-lembaga adat yang sudah ada sejak lama. Bahkan keduanya dapat melebur dalam suatu kolaborasi untuk mencapai tujuan pembangunan seperti yang diinginkan masyarakat.
Bila ditinjau dari konsep pengentasan kemiskinan, maka program P2SEDT bisa dijelaskan dengan konsep pendekatan integrasi wilayah (spatial integration approach)[18] yang pada dasarnya ingin mensejajarkan daerah-daerah sehingga tidak ada lagi daerah tertinggal. Tidak ada kesenjangan atau ketimpangan antara desa dengan kota, pusat dengan pinggiran. Tindakan ini dilakukan dengan mengintegrasikan sektor ekonomi-sosial-politik daerah-daerah yang berdampingan. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat keterkaitan (linkages) melalui pengaturan distribusi aliran sumber daya. Disinilah peran kebijakan pemerintah yang tidak hanya memusatkan pembangunan di kota, melainkan melakukan penyebaran pembangunan yang merata keseluruh wilayah untuk menghilangkan ketimpangan yang hingga kini masih kita lihat antara wilayah Indonesia Barat dan Timur. Pelaksanaan kebijakan inilah yang kemudian diorganisasikan oleh kader-kader KPPSB yang dibentuk di desa-desa tertinggal sesuai dengan tugas dan fungsi dari organisasi bentukan program P2SEDT ini.
Pada seminar nasional P2SEDT yang berlangsung di Jakarta tangggal 5 November 2008[19], dalam sambutan Menneg PPN/ Kepala Bappenas yang dibacakan oleh Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah menemukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi paruh waktu RPJMN 2004-2009, beberapa hal yang menjadi penyebab ketertinggalan suatu daerah antara lain; (1) pelaksanaan kebijakan pembangunan yang masih relatif sektoral/parsial; (2) penyusunan kebijakan kebijakan yang jangka pendek atau berorientasi proyek; (3) Kecenderungan pelayanan publik yang mengarah pada orientasi politis; (4) Belum dimasukkannya dimensi keruangan/ spasial dalam perencanaan pembangunan daerah tertinggal, yang terkait dengan belum tegasnya keterkaitan fungsional antara daerah tertinggal dengan kawasan strategis dan cepat tumbuh.
Dari evaluasi penyebab ketertinggalan suatu daerah itu maka dapat dipahami bahwa selama ini pembangunan atau program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat belum mepertimbangkan dimensi keruangan /spatial dan program itu cenderung terpisah (parsial/sektoral) antara satu dengan yang lainnya. Pendekatan integrasi wilayah (spatial integration approach) yang mendasari program P2SEDT dengan pembentukan Kader KPPSB yang bertugas mengorganisasikan seluruh kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah atau kawasan ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas evaluasi paruh waktu RPJM tahun 2004-2009. Melalui program P2SEDT yang dirancang begitu komprehensif ini diharapkan memberikan seberkas cahaya terang bagi upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Kelemahan dan Kelebihan Program P2SEDT
Pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan kelompok-kelompok sosial dapat membantu kaum miskin mengorganisir diri, meningkatkan kemampuan, memperjuangkan kepentingan melalui sistem sejalan dengan program P2SEDT yang mengutamakan penguatan kelembagaan untuk mengatasi salah satu faktor penyebab daerah dikategorikan tertinggal yakni faktor Sumber Daya Manusia. Pada umumnya masyarakat didaerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang[20]. P2SEDT akan melakukan investasi SDM sebanyak lebih kurang 15.000 kader di daerah tertinggal yang diharapkan akan menjadi motor penggerak pembangunan di daerah masing-masing di masa mendatang[21].
Sebagai suatu program yang menjadi salah satu tumpuan harapan untuk mampu mengangkat perekonomian penduduk miskin di daerah-daerah tertinggal, tentunya program P2SEDT ini memiliki sisi positif dan negatif. Salah satu kelemahan dari program ini adalah terbatasnya jumlah desa yang mendapatkan bantuan (hanya 10 desa dalam satu Kabupaten tertinggal), padahal suatu daerah terpencil kemungkinan memiliki jumlah desa tertinggal yang lebih dari sepuluh. Di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali (satu-satunya kabupaten tertinggal di Bali) misalnya, jumlah desa yang mendapatkan program P2SEDT jumlahnya tidak sebanding jumlah desa yang masih memerlukan bantuan untuk pengembangan kelembagaan untuk mengintegrasikan program kebijakan pembangunan dan pengentasan kemiskinan lainnya. Dari delapan kecamatan yang ada di Kabupaten Karangasem yang mendapatkan program ini tersebar hanya dalam tiga kecamatan saja. Kecamatan Kubu mendapatkan program P2SEDT di lima desa yang tergolong tertinggal yakni Desa Baturingit, Dukuh, Sukadana, Tianyar Barat dan Tianyar Tengah. Kecamatan Abang mendapatkan bantuan di dua desa yakni Desa Labasari dan Datah sementara Kecamatan Karangasem mendapat jatah tiga desa yakni Desa Seraya, Seraya Barat dan Seraya Timur[22]. Padahal masih terdapat banyak desa di Kecamatan Rendang, Kecamatan Sidemen dan Kecamatan Bebandem yang masih merupakan daerah-daerah kantong kemiskinan di kabupaten ini. Namun karena keterbatasan jumlah desa yang bisa menerima maka desa-desa lainnya masih belum mendapatkan bantuan.
Cakupan wilayah yang dapat dijangkau oleh program ini belum mampu meng-cover seluruh Kabupaten tertinggal di Indonesia yang jumlahnya mencapai 199 kabupaten yang ditetapkan oleh Kementerian Negara PDT sebagai daerah tertinggal, walaupun dalam tahun 2009 direncanakan semua kabupaten tertinggal yang tersebar dalam 32 provinsi kecuali DKI Jakarta akan mendapatkan program P2SEDT. Kemudian, kelemahan yang lain adalah program ini kurang mendapat perhatian dari berbagai lapisan masyarakat. Selain karena manfaatnya yang tidak bisa dirasakan dalam waktu yang instan karena investasi ini merupakan investasi jangka panjang, juga karena kucuran dana yang sangat minimum, hanya Rp 10 juta per desa. Hal ini yang menyebabkan program ini tidak diminati, sebab tidak menawarkan keuntungan secara ekonomis, seperti program-program lain, misal PNPM Mandiri, P2KP maupun PPK yang mendapatkan pembiayaan hingga milyaran rupiah untuk tiap-tiap kecamatan.
Menengok pada kegiatan P2SEDT yang merupakan suatu program yang berupaya mengintegrasikan semua program-program dan kebijakan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, termasuk upaya mensosialisasikan program lainnya agar diterima dan didukung masyarakat, alangkah baiknya bila sebagian dana program lainnya yang begitu melimpah dialokasikan sebagian untuk mensukseskan program P2SEDT ini karena pada dasarnya keberhasilan program ini akan menunjang keberhasilan program-program lainnya. Pengembangan lembaga-lembaga lokal agar dapat menopang kegiatan perekonomian dan pembangunan tidak akan cukup dengan jumlah dana yang begitu kecil, sementara gaji seorang coordinator kabupaten untuk program P2KP atau PPK bisa mencapai tujuh hingga delapan juta tiap bulan[23], suatu kondisi yang sangat ironis bila dibandingkan dengan dana sepuluh juta untuk satu tahun program P2SEDT.
Tetapi disisi lain, program ini juga menawarkan beberapa kelebihan. Yaitu memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengawasi pembangunan yang ada di desanya. Kemudian masyarakat juga mendapat pelatihan bagaimana mengorganisir diri lebih baik, daripada bekerja secara parsial. Sehingga selain integritas akan tercipta juga masyarakat akan mendapat kepuasan dari pembanguan yang dilakukan dengan usahanya sendiri. Program ini juga mampu menumbuhkan kembali dan mengembangkan kearifan lokal masyarakat yang telah tumbuh sejak dahulu di daerahnya untuk dapat dimanfaatkan dalam menunjang kelancaran program-program pengentasan kemiskinan.
SUMBER BACAAN
Bahan kuliah Isu dan Kebijakan penanggulangan Kemiskinan, Dosen: Dr. Ambar Widaningrum, Yogyakarta.
Bahan kuliah Pengembangan Kelembagaan MAP-UGM, 11 November 2009, Dosen Dr. Erwan Agus Purwanto, Yogyakarta.
Bahan kuliah Pengembangan Kelembagaan MAP-UGM, 19 Agustus 2009, Dosen Dr. Dewi Haryani Susilastuti, Yogyakarta.
Daman Huri, Moh. Miftahusyaian, Ronald J Warsa, Sutumo, Yudha Aminta (2008), Demokrasi dan Kemiskinan, Penerbit Program Sekolah Demokrasi PLaCIDS (Public Policy Analysis and Community Development Studies) Averroes dan KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi), Malang.
Kementerian PDT (2007), Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertingal (Stratanas PPDT) tahun 2004-2009, Jakarta.
Susetiawan (2009), Working paper “Pembangunan dan Kesejahteraan yang Terpasung (Ketidakberdayan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme), Yogyakarta.
Yunus, Muhammad (2008), Bank Kaum Miskin (Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi Kemiskinan) halaman 63-67, Penerbit Marjin Kiri (PT Cipta Lintas Wacana), Depok.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/feminisasi%20kemiskinan%20%20dalam%20%20kultur%20patriarki.pdf
http://news.okezone.com
http://stefanusrahoyo.blogspot.com
http://wap.fasilitator-masyarakat.org/index.php?pg=detailArtikel&id=142
http://www.ppk.or.id/downloads/KEBIJAKAN%20PERCEPATAN%20PEMBANGUNAN%20PDT.pdf
Menjawab Kemiskinan Dengan Social Capital
Melalui Penguatan Organisasi/Kelembagaan
(Tinjauan Program P2SEDT sebagai salah satu kebijakan
dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia)
Tugas Mata Kuliah
Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Prof. Dr. Susetiawan
Oleh : I Gede Budie Trisnawan, S.STP
NIM 08/291144/PMU/6048
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2009
Menjawab Kemiskinan Dengan Social Capital
Melalui Penguatan Organisasi/Kelembagaan
(Tinjauan Program P2SEDT sebagai salah satu kebijakan
dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia)
Tugas Mata Kuliah
Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Dr Ambar Widaningrum
Oleh : I Gede Budie Trisnawan, S.STP
NIM 08/291144/PMU/6048
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2009
[1] http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/feminisasi%20kemiskinan%20%20dalam%20%20kultur%20patriarki.pdf
[2] Biro Humas dan TU Pimpinan. 2008. Seminar Nasional Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal. http://www.bappenas.go.id/node/152/1493/seminar-nasional-percepatan-pembangunan-sosial-ekonomi-daerah-tertinggal/.
[3] Bahan kuliah Isu dan Kebijakan penanggulangan Kemiskinan, dosen: Dr. Ambar Widaningrum.
[4] Ibid.
[5] http://news.okezone.com
[6] http://wap.fasilitator-masyarakat.org/index.php?pg=detailArtikel&id=142
[7] http://news.okezone.com
[8] http://www.ppk.or.id/downloads/KEBIJAKAN%20PERCEPATAN%20PEMBANGUNAN%20PDT.pdf
[9] http://www.setneg.go.id
[10] Bahan kuliah Pengembangan Kelembagaan MAP-UGM, 19 Agustus 2009, Dosen Dr. Dewi Haryani Susilastuti
[11] Bahan kuliah Pengembangan Kelembagaan MAP-UGM, 11 November 2009, Dosen Dr. Erwan Agus Purwanto.
[12] Demokrasi dan Kemiskinan (halaman 82-83, tahun 2008), Penulis Daman Huri, Moh. Miftahusyaian, Ronald J Warsa, Sutumo, Yudha Aminta.
[13] Bahan kuliah Pengembangan Kelembagaan MAP-UGM, 11 November 2009, Dosen Dr. Erwan Agus Purwanto.
[14] http://stefanusrahoyo.blogspot.com dalam tulisannya Modal Sosial, Guanxi dan Kemiskinan.
[15] Working paper “Pembangunan dan Kesejahteraan yang Terpasung (Ketidakberdayan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme), tahun 2009.
[16] Ibid.
[17] Bank Kaum Miskin (Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi Kemiskinan) halaman 63-67, Penerbit Marjin Kiri (PT Cipta Lintas Wacana) Depok, Cetakan ke-4 tahun 2008.
[18] Bahan kuliah Isu dan Kebijakan penanggulangan Kemiskinan, dosen: Dr. Ambar Widaningrum.
[19] http://www.bappenas.go.id/node/152/1493/seminar-nasional-percepatan-pembangunan-sosial-ekonomi-daerah-tertinggal/
[20] Stranas PPDT 2007, hal.9
[21] http://news.okezone.com
[22] www.p2sedt.org
[23] Diperoleh dari wawancara (tanggal 30 November 2009) dengan I Nyoman Soko Wijaya, mantan konsultan P2KP kabupaten Karangasem tahun 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar