BIROKRASI DAN MANAJEMEN JARINGAN
Konsep kebijakan jaringan (policy networks) muncul akibat ketidakpercayaan publik/masyarakat terhadap pemerintah yang muncul dari berbagai permasalahan yang tidak mampu ditangani oleh pemerintah seperti krisis minyak pada tahun 70an, masalah kebijakan polusi lingkungan dan perkembangan kejahatan yang terorganisir yang semakin meningkat. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah/Negara bukanlah satu-satunya pusat kekuatan/kekuasaan dalam masyarakat. Kickerts dkk mengatakan bahwa “ the experiences have shown that the steering potentials of government are limited and that it must deal with many other important actors in the policy fields in which it operates”. Pengalaman selama bertahun-tahun telah menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah untuk memerintah (steering) terbatas dan untuk itu diperlukan kesepakatan atau kerjasama dengan aktor penting lainnya dalam sektor kebijakan dimana pemerintahan itu berjalan. Perubahan sudut pandang mengenai pemerintahan ini muncul karena kesadaran bahwa dengan semakin berkembangnya peradaban, ilmu pengetahuan dan teknologi, keterbatasan yang dimiliki pemerintah (yang dijalankan melalui birokrasi) akan dapat diatasi dengan melakukan kerjasama dengan pihak-pihak lain diluar pemerintah.
Berkembangnya konsep jaringan ini juga sejalan dengan pergeseran makna administrasi publik sebagai governance (Ambar Widaningrum, bahan kul ke-2) yang melibatkan multi stakeholder (negara, swasta, dan masyarakat). Hal yang sama diungkapkan Sumarto (2004; hal 29) yakni dalam konsep dasar governance, ada tiga stakeholder yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing, yaitu state (Negara atau pemerintah), private sector (sektor usaha atau dunia usaha) dan society (masyarakat). Kegagalan penerapan konsep good governance selama ini adalah karena masing-masing pilar ini tidak melakukan integrasi yang diwujudkan melalui partnership (hubungan kerjasama atas dasar kepercayaan, kesetaraan dan kemandirian untuk mencapai tujuan bersama).
Purwoko (www.bpurwoko.staff.ugm.ac.id) mengemukakan jejaring menjadi ciri penting dari pengembangan organisasi modern saat ini, baik organisasi swasta atau publik. Kebijakan publik saat ini juga tidak lagi merupakan proses eksklusif yang melibatkan aktor-aktor negara saja, tetapi merupakan produk dari jejaring, kolaborasi, dan kemitraan antara elemen-elemen governance (policy network). Penjelasan ini juga bahwa menguatkan bahwa partnership yang dikemukakan oleh Sumarto, atau yang bisa diterjemahkan sebagai kemitraan merupakan merupakan konsep yang mendukung makna administrasi publik sebagai governance.
Konsep kibijakan jaringan yang dikemukakan oleh Kickerts mengindikasikan pola hubungan diantara pelaku/aktor yang interdependent, termasuk dalam proses pembuatan kebijakan, bukan pada tahapan implementasi saja. Disini faktor saling ketergantungan menjadi kata kunci dari kebijakan jaringan. Ketergantungan antar aktor ini karena mereka tidak akan bisa mencapai tujuan mereka secara sendiri-sendiri, namun memerlukan sumberdaya dari aktor lainnya yang melakukan sesuatu untuk tujuan yang sama (Actors in networks are interdependent because they cannot attain their goals by themselves, but need resources of others actor to do so (Kickerts, 1999 ; hal 6)). Ketergantungan ini didasarkan pada distribusi atau persebaran dari sumber daya pada berbagai aktor yang tidak sama satu dengan yang lainnya, adanya kesamaan-kesamaan tujuan yang mereka harapkan serta persepsi yang ada dimasyarakat bahwa mereka harus melakukan itu secara bersama-sama. Hal inilah yang kemudian menimbulkan adanya interaksi untuk melakukan pertukaran informasi, sumber daya dan tujuan.
Kickerts mendefinisikan policy networks as (more or less) stable patterns of social relations between interdependent actors, which take shape around policy problems and/or policy programmes (Kebijakan jaringan merupakan pola yang stabil dari suatu hubungan sosial antara aktor yang saling ketergantungan, yang terbentuk mengelilingi permasalahan kebijakan dan program kebijakan). Fokus dalam policy networks adalah mengenai bagaimana konsep jaringan ini mempengaruhi pembuatan dan implementasi dari suatu kebijakan publik. Ini terfokus pada collective action and corporate actors (tindakan bersama diantara aktor-aktor yang bekerjasama).
Ada tiga karakteristik utama dari network/jaringan (Kickerts, 1999: hal 30-31) yaitu :
1. Networks exist because of interdependencies between actors.
2. Networks consist of a variety of actors each with their own goals.
3. Networks consist of relations of a more or less lasting nature between actors/relations pattern (regularity of communication and interactions in form of rules which regulate their behavior and resource divisions that influence their strategic options).
Senada dengan karakteristik network yang dikemukakan Kickerts, Sulistiyani (2004; 129) menyebutkan bahwa kemitraan dapat dibentuk dengan memenuhi beberapa persyaratan diantranya : ada dua belah pihak atau lebih, memiliki kesamaan visi dalam mencapai tujuan, ada kesepakatan, saling membutuhkan. Tujuan dari kemitraan adalah untuk mencapai hasil yang lebih baik, dengan saling memberikan manfaat antar pihak yang bermitra. Dari karakteristik yang dikemukakan ini ada kesamaan diantaranya bahwa jaringan itu terdiri dari beberapa aktor (dua pihak atau lebih) dengan tujuan bersama yang aktivitasnya diatur oleh kesepakatan bersama (aturan), dimana hubungan itu didasari oleh rasa saling ketergantungan (interdependent) antara aktor yang satu dengan yang lainnya.
Yudhoyono dalam materi seminar nasional mengulas good governance dalam mewujudkan networking antar daerah otonom. Dalam seminar ini dikatakan bahwa dalam sistem yang demokratis harus terjadi perubahan hubungan antar level pemerintahan yang dulunya dioperasikan dalam bentuk hierarkhi ke arah hubungan yang berbentuk networking. (2002 ; 20). Dalam konsepsi jaringan ini, tidak ada aktor yang posisinya diatas aktor lainnya, karena mereka berstatus sebagai mitra. Hal ini sangat berbeda dengan konsep-konsep yang pernah diterapkan di Indonesia sebelumnya dimana memposisikan Negara melalui pemerintahnya (dalam hal ini dilaksanakan oleh birokrasi) menjadi aktor sentral dalam pengambilan suatu kebijakan. Cenderung tidak ada sedikitpun ruang yang menempatkan aktor lain (swasta dan masyarakat) untuk terlibat dalam penentuan kebijakan.
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari networking (Yudhoyono, 2002 ; 12) antar daerah diantaranya :
1. Sharing of experiences ; daerah dapat belajar dari pengalaman daerah lainnya sehingga tidak mengalami kesalahan yang sama yang pernah dialami oleh daerah lainnya.
2. Sharing of benefits ; kebersamaan dalam mengelola suatu potensi daerah memberikan keuntungan secara bersama-sama.
3. Sharing of burdens ; kebersamaan dalam suatu program kebijakan akan meringankan biaya operasional karena ditanggung bersama.
Dalam proses penentuan kebijakan ada tiga perspektif yang dikemukakan oleh Kickerts dalam bukunya Managing Public Sector. Tiga perspektif ini adalah The rational central rule perspective, The multi-actor perspective, dan The network perspective. Ketiga perspektif ini memiliki beberapa perbedaan mendasar yang dapat dijelaskan dari beberapa dimensi, seperti berdasarkan objek analisisnya, karakteristik hubungan antara elemen-elemen pemerintah dengan aktor lainnya, proses penentuan kebijakan, kriteria atau ukuran sukses dari perspektif tersebut, penyebab-penyebab kegagalan,dan saran tindakan untuk pemerintah. Untuk lebih jelasnya, perbandingan ketiga perspektif ini dapat dilihat pada table berikut.
Tabel Perspektif dalam Proses Penentuan Kebijakan.
PERSPEKTIF The rational central rule perspective The multi-actor perspective The network perspective
Dimensions
Object of analyses Relation between central ruler and target groups Relation between central ruler & local actors Network of actors
Perspective Central ruler Local actors Interaction between actors
Characteristic of relations Authoritative Centralized versus autonomous Interdependent
Characterization of policy processes Neutral implementation of ex ante formulated policy Political processes of interest representation and informal use of guidelines and resources Interaction process in which information, goals and resources are exchanged
Criterion of success Attainment of the goals of the formal policy Local discretionary power and obtaining resources in favour of local actors Realization of collective action
Causes of failure Ambiguous goals; too many actors; lack of information & control Rigid policies: lack of resources, non-participation of local actors Lack of incentives for collective action or existing blockages
Recommendations for governance Coordination & centralization Retreat of central rule in favour of local actors Management of policy networks: improving conditions under which actors interact
(Sumber: Kickert, Klijn, Koppenjan 2002 ; hal. 10)
Hingga kini ide policy networks digunakan untuk menjelaskan mengapa suatu kebijakan yang dihasilkan pemerintah mengalami kegagalan ketika diterapkan di masyarakat. Ide ini memiliki kontribusi dalam membongkar mengapa pendekatan Rational central rule yang banyak dipakai oleh pemerintah diberbagai Negara (termasuk Indonesia pada masa Orde Baru), merupakan penyebab utama kekagalan suatu kebijakan, karena pendekatan rational central rule ini mengabaikan ketergantungan pemerintah terhadap individu, kelompok dan organisasi lainnya dalam lingkungan kebijakan (fundamental dependencies of government upon individuals, groups and organizations in its policy environment, ( Kickert, Klijn & Koppenjan;1999))
Dalam tataran praktek, manajemen jaringan dapat kita lihat dalam bentuk kemitraan atau kerjasama antara tiga pilar utama dalam konsep governance, ataupun kerjasama antara pemerintah itu sendiri dengan pemerintah lokal lainnya dalam suatu kawasan/wilayah tentunya dengan karakteristik-karakteristik kemitraan seperti yang telah dikemukakan pada penjelasan sebelumnya. Namun sayangnya networking yang dilakukan banyak yang memposisikan salah satu aktor -karena kelebihan yang dimilikinya dengan aktor lain- memiliki dominasi dari hubungan kerjasama tersebut. Hal tersebut pada ujungnya akan menimbulkan berbagai konflik antara aktor tersebut karena lemahnya kekuatan pengikat hubungan tersebut. Ada banyak contoh kasus yang di Indonesia yang dapat kita lihat sebagai bukti bahwa konsepsi manajemen jaringan belum sepenuhnya dijalankan, seperti kasus PT. Freeport di Papua yang sering kali menimbulkan konflik kekerasan, kasus Lapindo yang memposisikan masyarakat sebagai korban dari kemitraan yang tidak sehat, dan kasus-kasus lainnya.
Sumber-Sumber Bacaan
Ambar Widaningrum (2009) bahan kuliah ke-2 mata kuliah Prinsip-Prinsip Administrasi Publik.
Kickert, Walter JM, Erik-Hans Klijn and Joop FM Koppenjan (1999), Managing Complex Networks : Strategies for the Public Sector, SAGE Publications, London.
Sulistiyan, Ambar Teguh i (2004), Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Penerbit Gava Media, Yogyakarta.
Sumarto, Hetifah SJ, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance (20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia) (2004), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Yudhoyono, Susilo Bambang (2002), disunting oleh Azhari, Idham Ibty. Dkk, Good Governance dan Otonomi Daerah (Menyongsong AFTA 2003), Penerbit: Prosumen (PKPEK) dengan FORKMA-MAP-UGM, Yogyakarta.
www.bpurwoko.staff.ugm.ac.id
Selasa, 15 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar