Selasa, 15 Desember 2009
BIROKRASI DAN MANAJEMEN JARINGAN
Konsep kebijakan jaringan (policy networks) muncul akibat ketidakpercayaan publik/masyarakat terhadap pemerintah yang muncul dari berbagai permasalahan yang tidak mampu ditangani oleh pemerintah seperti krisis minyak pada tahun 70an, masalah kebijakan polusi lingkungan dan perkembangan kejahatan yang terorganisir yang semakin meningkat. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah/Negara bukanlah satu-satunya pusat kekuatan/kekuasaan dalam masyarakat. Kickerts dkk mengatakan bahwa “ the experiences have shown that the steering potentials of government are limited and that it must deal with many other important actors in the policy fields in which it operates”. Pengalaman selama bertahun-tahun telah menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah untuk memerintah (steering) terbatas dan untuk itu diperlukan kesepakatan atau kerjasama dengan aktor penting lainnya dalam sektor kebijakan dimana pemerintahan itu berjalan. Perubahan sudut pandang mengenai pemerintahan ini muncul karena kesadaran bahwa dengan semakin berkembangnya peradaban, ilmu pengetahuan dan teknologi, keterbatasan yang dimiliki pemerintah (yang dijalankan melalui birokrasi) akan dapat diatasi dengan melakukan kerjasama dengan pihak-pihak lain diluar pemerintah.
Berkembangnya konsep jaringan ini juga sejalan dengan pergeseran makna administrasi publik sebagai governance (Ambar Widaningrum, bahan kul ke-2) yang melibatkan multi stakeholder (negara, swasta, dan masyarakat). Hal yang sama diungkapkan Sumarto (2004; hal 29) yakni dalam konsep dasar governance, ada tiga stakeholder yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing, yaitu state (Negara atau pemerintah), private sector (sektor usaha atau dunia usaha) dan society (masyarakat). Kegagalan penerapan konsep good governance selama ini adalah karena masing-masing pilar ini tidak melakukan integrasi yang diwujudkan melalui partnership (hubungan kerjasama atas dasar kepercayaan, kesetaraan dan kemandirian untuk mencapai tujuan bersama).
Purwoko (www.bpurwoko.staff.ugm.ac.id) mengemukakan jejaring menjadi ciri penting dari pengembangan organisasi modern saat ini, baik organisasi swasta atau publik. Kebijakan publik saat ini juga tidak lagi merupakan proses eksklusif yang melibatkan aktor-aktor negara saja, tetapi merupakan produk dari jejaring, kolaborasi, dan kemitraan antara elemen-elemen governance (policy network). Penjelasan ini juga bahwa menguatkan bahwa partnership yang dikemukakan oleh Sumarto, atau yang bisa diterjemahkan sebagai kemitraan merupakan merupakan konsep yang mendukung makna administrasi publik sebagai governance.
Konsep kibijakan jaringan yang dikemukakan oleh Kickerts mengindikasikan pola hubungan diantara pelaku/aktor yang interdependent, termasuk dalam proses pembuatan kebijakan, bukan pada tahapan implementasi saja. Disini faktor saling ketergantungan menjadi kata kunci dari kebijakan jaringan. Ketergantungan antar aktor ini karena mereka tidak akan bisa mencapai tujuan mereka secara sendiri-sendiri, namun memerlukan sumberdaya dari aktor lainnya yang melakukan sesuatu untuk tujuan yang sama (Actors in networks are interdependent because they cannot attain their goals by themselves, but need resources of others actor to do so (Kickerts, 1999 ; hal 6)). Ketergantungan ini didasarkan pada distribusi atau persebaran dari sumber daya pada berbagai aktor yang tidak sama satu dengan yang lainnya, adanya kesamaan-kesamaan tujuan yang mereka harapkan serta persepsi yang ada dimasyarakat bahwa mereka harus melakukan itu secara bersama-sama. Hal inilah yang kemudian menimbulkan adanya interaksi untuk melakukan pertukaran informasi, sumber daya dan tujuan.
Kickerts mendefinisikan policy networks as (more or less) stable patterns of social relations between interdependent actors, which take shape around policy problems and/or policy programmes (Kebijakan jaringan merupakan pola yang stabil dari suatu hubungan sosial antara aktor yang saling ketergantungan, yang terbentuk mengelilingi permasalahan kebijakan dan program kebijakan). Fokus dalam policy networks adalah mengenai bagaimana konsep jaringan ini mempengaruhi pembuatan dan implementasi dari suatu kebijakan publik. Ini terfokus pada collective action and corporate actors (tindakan bersama diantara aktor-aktor yang bekerjasama).
Ada tiga karakteristik utama dari network/jaringan (Kickerts, 1999: hal 30-31) yaitu :
1. Networks exist because of interdependencies between actors.
2. Networks consist of a variety of actors each with their own goals.
3. Networks consist of relations of a more or less lasting nature between actors/relations pattern (regularity of communication and interactions in form of rules which regulate their behavior and resource divisions that influence their strategic options).
Senada dengan karakteristik network yang dikemukakan Kickerts, Sulistiyani (2004; 129) menyebutkan bahwa kemitraan dapat dibentuk dengan memenuhi beberapa persyaratan diantranya : ada dua belah pihak atau lebih, memiliki kesamaan visi dalam mencapai tujuan, ada kesepakatan, saling membutuhkan. Tujuan dari kemitraan adalah untuk mencapai hasil yang lebih baik, dengan saling memberikan manfaat antar pihak yang bermitra. Dari karakteristik yang dikemukakan ini ada kesamaan diantaranya bahwa jaringan itu terdiri dari beberapa aktor (dua pihak atau lebih) dengan tujuan bersama yang aktivitasnya diatur oleh kesepakatan bersama (aturan), dimana hubungan itu didasari oleh rasa saling ketergantungan (interdependent) antara aktor yang satu dengan yang lainnya.
Yudhoyono dalam materi seminar nasional mengulas good governance dalam mewujudkan networking antar daerah otonom. Dalam seminar ini dikatakan bahwa dalam sistem yang demokratis harus terjadi perubahan hubungan antar level pemerintahan yang dulunya dioperasikan dalam bentuk hierarkhi ke arah hubungan yang berbentuk networking. (2002 ; 20). Dalam konsepsi jaringan ini, tidak ada aktor yang posisinya diatas aktor lainnya, karena mereka berstatus sebagai mitra. Hal ini sangat berbeda dengan konsep-konsep yang pernah diterapkan di Indonesia sebelumnya dimana memposisikan Negara melalui pemerintahnya (dalam hal ini dilaksanakan oleh birokrasi) menjadi aktor sentral dalam pengambilan suatu kebijakan. Cenderung tidak ada sedikitpun ruang yang menempatkan aktor lain (swasta dan masyarakat) untuk terlibat dalam penentuan kebijakan.
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari networking (Yudhoyono, 2002 ; 12) antar daerah diantaranya :
1. Sharing of experiences ; daerah dapat belajar dari pengalaman daerah lainnya sehingga tidak mengalami kesalahan yang sama yang pernah dialami oleh daerah lainnya.
2. Sharing of benefits ; kebersamaan dalam mengelola suatu potensi daerah memberikan keuntungan secara bersama-sama.
3. Sharing of burdens ; kebersamaan dalam suatu program kebijakan akan meringankan biaya operasional karena ditanggung bersama.
Dalam proses penentuan kebijakan ada tiga perspektif yang dikemukakan oleh Kickerts dalam bukunya Managing Public Sector. Tiga perspektif ini adalah The rational central rule perspective, The multi-actor perspective, dan The network perspective. Ketiga perspektif ini memiliki beberapa perbedaan mendasar yang dapat dijelaskan dari beberapa dimensi, seperti berdasarkan objek analisisnya, karakteristik hubungan antara elemen-elemen pemerintah dengan aktor lainnya, proses penentuan kebijakan, kriteria atau ukuran sukses dari perspektif tersebut, penyebab-penyebab kegagalan,dan saran tindakan untuk pemerintah. Untuk lebih jelasnya, perbandingan ketiga perspektif ini dapat dilihat pada table berikut.
Tabel Perspektif dalam Proses Penentuan Kebijakan.
PERSPEKTIF The rational central rule perspective The multi-actor perspective The network perspective
Dimensions
Object of analyses Relation between central ruler and target groups Relation between central ruler & local actors Network of actors
Perspective Central ruler Local actors Interaction between actors
Characteristic of relations Authoritative Centralized versus autonomous Interdependent
Characterization of policy processes Neutral implementation of ex ante formulated policy Political processes of interest representation and informal use of guidelines and resources Interaction process in which information, goals and resources are exchanged
Criterion of success Attainment of the goals of the formal policy Local discretionary power and obtaining resources in favour of local actors Realization of collective action
Causes of failure Ambiguous goals; too many actors; lack of information & control Rigid policies: lack of resources, non-participation of local actors Lack of incentives for collective action or existing blockages
Recommendations for governance Coordination & centralization Retreat of central rule in favour of local actors Management of policy networks: improving conditions under which actors interact
(Sumber: Kickert, Klijn, Koppenjan 2002 ; hal. 10)
Hingga kini ide policy networks digunakan untuk menjelaskan mengapa suatu kebijakan yang dihasilkan pemerintah mengalami kegagalan ketika diterapkan di masyarakat. Ide ini memiliki kontribusi dalam membongkar mengapa pendekatan Rational central rule yang banyak dipakai oleh pemerintah diberbagai Negara (termasuk Indonesia pada masa Orde Baru), merupakan penyebab utama kekagalan suatu kebijakan, karena pendekatan rational central rule ini mengabaikan ketergantungan pemerintah terhadap individu, kelompok dan organisasi lainnya dalam lingkungan kebijakan (fundamental dependencies of government upon individuals, groups and organizations in its policy environment, ( Kickert, Klijn & Koppenjan;1999))
Dalam tataran praktek, manajemen jaringan dapat kita lihat dalam bentuk kemitraan atau kerjasama antara tiga pilar utama dalam konsep governance, ataupun kerjasama antara pemerintah itu sendiri dengan pemerintah lokal lainnya dalam suatu kawasan/wilayah tentunya dengan karakteristik-karakteristik kemitraan seperti yang telah dikemukakan pada penjelasan sebelumnya. Namun sayangnya networking yang dilakukan banyak yang memposisikan salah satu aktor -karena kelebihan yang dimilikinya dengan aktor lain- memiliki dominasi dari hubungan kerjasama tersebut. Hal tersebut pada ujungnya akan menimbulkan berbagai konflik antara aktor tersebut karena lemahnya kekuatan pengikat hubungan tersebut. Ada banyak contoh kasus yang di Indonesia yang dapat kita lihat sebagai bukti bahwa konsepsi manajemen jaringan belum sepenuhnya dijalankan, seperti kasus PT. Freeport di Papua yang sering kali menimbulkan konflik kekerasan, kasus Lapindo yang memposisikan masyarakat sebagai korban dari kemitraan yang tidak sehat, dan kasus-kasus lainnya.
Sumber-Sumber Bacaan
Ambar Widaningrum (2009) bahan kuliah ke-2 mata kuliah Prinsip-Prinsip Administrasi Publik.
Kickert, Walter JM, Erik-Hans Klijn and Joop FM Koppenjan (1999), Managing Complex Networks : Strategies for the Public Sector, SAGE Publications, London.
Sulistiyan, Ambar Teguh i (2004), Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Penerbit Gava Media, Yogyakarta.
Sumarto, Hetifah SJ, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance (20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia) (2004), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Yudhoyono, Susilo Bambang (2002), disunting oleh Azhari, Idham Ibty. Dkk, Good Governance dan Otonomi Daerah (Menyongsong AFTA 2003), Penerbit: Prosumen (PKPEK) dengan FORKMA-MAP-UGM, Yogyakarta.
www.bpurwoko.staff.ugm.ac.id
kebijakan penanggulangan abrasi pantai di Bali
Latar Belakang Masalah
A. Deskripsi Situasi Masalah
Bali merupakan salah satu destinasi wisata di Indonesia yang paling banyak didatangi wisatawan baik Wisatawan Domestik Maupun Wisatawan Mancanegara. Hal yang menjadi daya tarik wisatawan untuk datang ke Pulau Dewata ini adalah karena keindahan alam dan keunikan budaya yang dimiliki masyarakatnya, khususnya umat Hindu, melaui seni budaya dan hal-hal keagamaan.
Keindahan alam yang menjadi daya tarik wisata yang paling mendominasi adalah kawasan pantai. Lihatlah Kuta, Sanur, Nusa Dua, Candidasa, Tanah Lot, Medewi, Lovina, Lebih, Klotok, Uluwatu dan lain-lain. Semua kawasan tadi adalah sebagian destinasi wisata Bali yang menawarkan objek pantai sebagai faktor utama untuk mengundang wisatawan datang ke tempat tersebut dan lokasi ini hampir tersebar merata di seluruh Kabupaten dan Kota yang ada di Bali kecuali Kabupaten Bangli yang daerahnya memang tidak memiliki kawasan pantai dan laut karena posisinya di tengah-tengah Pulau Bali.
Rata-rata kedatangan wisatawan mancanegara yang mengunjungi Bali tiap tahunnya lebih dari satu juta orang kecuali pasca bom bali yang membuat penurunan wisatawan hingga 22,77% (lihat tabel) dan pemasukan dari paspor dan visa mendatangkan devisa negara sekitar 1,9 trilyun dalam tahun 2008 (http://winasa.info/main.php) belum lagi peranan pariwisata yang menggerakkan hampir semua sektor lain di bali dari perhotelan, kuliner, souvenir dan kerajinan, serta bidang lainnya yang merupakan salah satu pendongkrak PAD di Bali.
Tabel Kunjungan Wisatawan Mancanegara tahun 1998-2007
Tahun Kunjungan Peningkatan Tahun Kunjungan Peningkatan
1998 1.187.153 -3,51% 2003 993.029 .-22,77%
1999 1.355.799 14,21% 2004 1.458.309 46,85%
2000 1.412.839 4,21% 2005 1.386.449 -4,93%
2001 1.356.774 -3,97% 2006 1.260.317 -9,10%
2002 1.265.844 -5,23% 2007 1.664.854 32,10%
Sumber : Kanwil Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Bali
Belakangan ini, banyak pantai di Bali yang telah mengalami abrasi yang cukup parah. Bebarapa kondisi abrasi pantai ini ditunjukkan oleh kenyataan semakin mundurnya tepi pantai kearah daratan. Contohnya, sejak tahun 1983 garis pantai Sanur telah berpindah sejauh 30 meter ke arah daratan, sedangkan pantai Kuta bergeser sejauh 200 meter (http://www.kompas.com Rabu, 13 Februari 2008). Hasil penelitian Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Universitas Udayana menyebutkan tingkat abrasi di Pantai Lebih Gianyar mencapai 50 meter pertahun (http://www.indosmarin.com). Sementara di Kabupaten Tabanan, Pantai Kelating ,menurut penuturan sejumlah warga, sejak beberapa tahun belakangan, pantai itu mengalami abrasi hingga sekitar 200 meter (http://bali.forumotion.net). Kondisi ini menunjukkan betapa parahnya kondisi abrasi pantai di Bali.
Berdasarkan data Balai Wilayah Sungai Bali-Nusa Penida Dirjen Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum (PU), dari total garis pantai di Bali sepanjang 436 km, yang mengalami abrasi hingga tahun 2008 ini secara keseluruhan mencapai 91,070 km. Kabupaten Buleleng dengan panjang garis pantai 127 km, tercatat sebagai daerah terparah dengan panjang pantai terabrasi mencapai 29,060 km. Bahkan Kota Denpasar dengan panjang garis pantai 10 km, justru seluruhnya mengalami abrasi. Kondisi ini disusul Kabupaten Klungkung yang memiliki panjang garis pantai 58 km, dengan panjang pantai yang mengalami abrasi sekitar 12,6 km. Kabupaten Badung dengan panjang garis pantai 64 km, juga mengalami persoalan abrasi pantai sepanjang 12,1 km. Adapun Kabupaten Jembrana dengan garis pantai sepanjang 60 km, yang mengalami abrasi sekitar 7,51 km, sementara Kabupaten Tabanan yang memiliki 28,5 km panjang garis pantai, menghadapi masalah berupa 7,5 km pantai terabrasi. Sedangkan Kabupaten Karangasem yang memiliki panjang pantai sebesar 71 km, mencatat panjang pantai yang terabrasi 6,3 km. Dan Kabupaten Gianyar dengan panjang pantai 18 km, 6 km di antaranya mengalami abrasi (http://myernestlove.blog.friendster.com). Perkembangan abrasi pantai ini mengalami peningkatan yang cukup besar dibandingkan peningkatan abrasi sepuluh tahun yang lalu. Data tahun 1987 menunjukan jumlah erosi yang terjadi yakni sepanjang 51,50 km, sepuluh tahun berikutnya, tahun 1997 sejumlah 64,85 km dan pada tahun 2007 mencapai 90,00 km (Sumber: Proyek Pengamanan Pantai Bali, Dinas PU Propinsi Bali). Peningkatan erosi yang terjadi hampir dua kali lipat dari dasawarsa sebelumnya, dimana peningkatan erosi tahun 1987-1997 hanya sekitar 13,35 km sedangkan pada periode 1997-2007 mencapai 25,25 km. Kalau hal ini terus berlangsung maka dalam kurun waktu kurang dari 30 tahun lagi maka pantai di Bali akan terabrasi secara keseluruhan dan dengan daratan yang kecil maka luas Pulau Bali akan digerogoti dari semua sisinya yang menyebabkan daratan Bali yang sudah begitu padat penduduk akan semakin penuh sesak akibat berkurangnya daratan dan pertambahan jumlah penduduk tiap tahunnya.
Abrasi pantai bisa disebabkan karena faktor alam dan karena ulah manusia itu sendiri. Faktor alam yang menyebabkan terjadinya abrasi adalah karena besarnya terjangan ombak akibat angin yang keras yang menyebabkan gelombang besar yang terus menggerus pantai. Selain itu proses fragmentasi sediment juga merupakan penyebab abrasi karena butiran pasir/sediment kasar lambat laun akan mengalami proses fragmentasi menjadi butiran halus yang lebih mudah terbawa oleh arus dan ombak. Namun abrasi karena faktor alam ini kontribusinya terhadap abrasi tidak begitu besar. Sebagian besar abrasi parah yang terjadi adalah pada kawasan wisata dan pada daerah pantai yang menjadi daerah perkampungan atau kegiatan/aktivitas manusia, yang cenderung menyebabkan merosotnya daya dukung lingkungan pantai. Terkait dengan abrasi yang terjadi karena kegiatan manusia inilah maka perlu suatu kebijakan pemerintah untuk mengendalikan tingkat abrasi yang tiap tahun semakin meningkat tajam.
B. Hasil Sebelum Usaha Pemecahan
Kondisi abrasi dan kerusakan lingkungan pantai di Bali yang sudah demikian parah karena kurangnya perhatian dari pemerintah dan masyarakat tentunya akan membuat laju abrasi ini semakin menjadi-jadi. Gempuran alam melalui gelombang laut yang tak terbendung dan semakin berkurangnya keberadaan tanaman pelindung dan penahan abrasi pada kawasan pantai semakin membuat abrasi tak dapat terhindarkan. Bukan hal mustahil bahwa suatu saat nanti, keindahan panorama pantai di Bali yang begitu terkenalnya hingga ke seluruh penjuru dunia hanya tinggal sejarah bagi generasi yang akan datang. Keindahan itu mungkin hanya bisa mereka lihat dalam rekaman gambar ataupun foto dan karya seni lainnya.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa dengan adanya pemanasan global (global warming) menyebabkan semakin naikknya permukaan air laut. Hal ini juga akan semakin mempercepat tenggelamnya daerah pantai, apalagi pada daerah pantai yang mengalami abrasi yang tinggi. Seperti yang dikatakan Sekretaris Dinas PU Provinsi Bali, I Made Sudiarsa, mewakili Kadis PU Provinsi Bali dan kepala Balai Wilayah Sungai Bali-Nusa Penida, dalam Workshop ’Penyusunan Rencana Aksi Daerah Provinsi Bali dalam Menghadapi Perubahan Iklim’ yang berlangsung di Gedung Wiswa Sabha Kantor Gubernur Bali, Selasa 16 Desember 2008 bahwa tinggi permukaan air laut diproyeksikan telah naik rata-rata 28-50 cm (http://myernestlove.blog.friendster.com).
Hal ini tentunya sangat mengancam keberadaan daratan Bali yang akan semakin menyempit akibat abrasi dan akibat naiknya tingkat permukaan air laut karena peningkatan volume air laut akibat mencairnya es di Kutub Utara dan Selatan. Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan bila sampai saat ini masyarakat dan pemerintah terkesan kurang memberikan perhatian serius pada kondisi yang sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup masyarakat Bali dan kecenderungan masyarakat semakin memperparah kondisi abrasi ini dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang semakin meningkatkan laju abrasi. Penambangan pasir pada kawasan muara sungai misalnya banyak dilakukan di kawasan pantai di Kabupaten Klungkung, yaitu dikawasan DAS dan muara Sungai Unda serta di Kabupaten Karangasem, tepatnya di daerah Kecamatan Kubu yang pasirnya di kirim ke Pelabuhan Tanjung Benoa Kabupaten Badung melalui pengapalan di Laut dengan kapal tongkang. Hal ini tentunya akan mengurangi kiriman endapan/ sedimen pasir dari sungai dan bahkan mengurangi jumlah pasir yang ada di muara sungai sehingga kawasan pantai semakin masuk jauh ke dalam muara kearah sungai.
Penyedotan pasir di daerah tepi laut juga menyebabkan semakin terkikisnya pasir pantai ke dalam lautan. Penyedotan pasir di dasar laut sekitar 5 mil dari Pantai Geger misalnya, daerah Sawangan, Kabupaten Badung, pada kedalaman 30-40 meter telah menyebabkan daerah Pantai Geger terkikis. Pasir hasil penyedotan ini dibutuhkan untuk proyek penyelamatan Pantai Kuta senilai Rp 290 milliar yang mencapai 650 ribu meter kubik dengan biaya dari pemerintah pusat (APBN) (http://www.tempointeraktif.com). Kegiatan ini tentunya bukan solusi untuk mengatasi abrasi di Pantai Kuta karena merusak pantai Geger. Kondisi ini hanya memindahkan kerusakan pantai kedaerah lainnya dengan biaya yang begitu tinggi. Aktivitas ini mendapat sorotan dari berbagai pihak terurama pemerhati lingkungan tapi hingga kini tidak ada tindak lanjut guna penyelamatan Pantai Geger. Perusakan terumbu karang sebagai penahan gelombang alami, pembabatan hutan bakau/mangrove untuk keperluan ekonomis, dan perkembangan industri pariwisata yang tidak peduli dengan kelestarian pantai juga semakin menambah kontribusinya dalam mempercepat abrasi pantai di Bali.
BAB II
Lingkup dan Ragam Masalah
A. Penilaian Kinerja Kebijakan Masa Lalu
Tidak bisa dipungkiri memang bahwa penanganan abrasi pantai di Bali membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tercatat sejak tahun 1987 hingga tahun 2007 total dana yang telah dikeluarkan untuk menangani kerusakan pantai akibat abrasi sejumlah 3,9 trilyun (http://www.balipost.co.id). Adanya pendanaan yang tidak sedikit ini menunjukan bahwa pemerintah sesungguhnya tidak tinggal diam melihat kondisi peningkatan abrasi yang begitu cepat. Pada beberapa kawasan telah dilakukan penanganan abrasi dengan membangun pemecah gelombang pada daerah-daerah yang mengalami abrasi sangat parah dan sudah membahayakan warga sekitar pesisir pantai. Namun perhatian yang diberikan ini mungkin belum sebanding dengan kontribusi yang diberikan dari sektor pariwisata.
Selama ini, pendanaan untuk penanganan abrasi sebagian besar dikeluarkan oleh pemerintah pusat melalui alokasi bencana, dan sebagian lagi dari APBD Provinsi. Pemprop Bali menurut Kepala Bappeda Bali, I Made Adi Jaya dalam tahun 2007 mengalokasikan dana Rp 3,2 miliar untuk pengamanan pantai (http://www.kapanlagi.com). Daerah Kabupaten dan Kota tidak ada mengalokasikan dana untuk penanganan masalah abrasi padahal daerah-daerah ini juga menikmati sebagian hasil sumber daya pantai dari sektor pariwisata. Penanganan bentangan pantai yang tergerus abrasi di Bali tahun anggaran 2007 misalnya, didominasi dana pinjaman luar negeri (LN). Total dana pinjaman LN yang dikucurkan untuk menyelamatkan pesisir Bali mencapai Rp 151,4 milyar dari Rp 182,5 milyar. Sisanya Rp 31,1 milyar merupakan dana APBN (http://www.balipost.co.id). Ini menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah daerah khususnya daerah Kabupaten Kota di Bali untuk menyelamatkan daerah dan mayarakatnya dari ancaman abrasi.
Realitas dilapangan menunjukan bahwa tingkat abrasi belum menunjukkan tanda-tanda penurunan, jumlah dana yang dikucurkan tidak sebanding dengan manfaat yang diharapkan oleh semua pihak baik pemerintah, pelaku pariwisata dan utamanya masyarakat pesisir. Kebijakan pemerintah untuk membatasi pembangunan vila, resort dan hotel di kawasan pantai masih banyak yang dilanggar oleh para investor. Bangunan-bangunan megah ini banyak dibangun pada daerah pantai dan menghabiskan sempadan pantai atau bahkan ada yang berbatasan langsung dengan laut akibat dari abrasi ini. Pelanggaran batas pembangunan yang seharusnya minimal 25 meter tidak ditaati oleh para pelaku pariwisata dan pemerintah terkesan membiarkan hal itu. Disisi lain ada juga pemilik hotel yang karena gempuran ombak semakin mendekati bangunannya telah melakukan pembangunan krib atau senderan penahan ombak secara mandiri karena dirasakan mengancam kelangsungan bisnis hotelnya. Namun sayangnya sebagian besar krib yang dibangun ini tidak memenuhi standar kelayakan teknis dan upaya yang dilakukan itu justru dapat lebih memperparah abrasi pantai di daerah sekitarnya.
B. Pentingnya Situasi Masalah.
Kondisi yang tergambar pada bagian awal merupakan alasan yang kuat untuk segera dilakukannya penanganan yang lebih intensif terhadap permasalahan abrasi pantai ini. Kerugian yang lebih besar telah menanti di depan mata kita apabila kondisi ini dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya meminimalisasi abrasi. Abrasi ini telah mengancam keberlanjutan Bali sebagai salah satu destinasi wisata yang menawarkan keindahan panorama pantainya. Berapa keuntungan ekonomis yang didatangkan dari sektor pariwisata akan hilang bila pantai yang menjadi sumber daya yang ditawarkan sudah tidak memiliki daya tarik lagi untuk wisatawan karena kondisi abrasi yang begitu memperihatinkan.
Hal lain yang merupakan alasan mendasar urgensi penanganan abrasi ini adalah karena semakin mengancam luas daratan Pulau Bali secara keseluruhan. Pada tahun 2009 ini, setidaknya 20 KK di Dusun Munduk Asem, Cupel, Kabupaten Jembrana setiap hari merasa was-was lantaran sewaktu-waktu rumah mereka bisa tenggelam dihantam abrasi pantai Munduk Asem yang kian mengganas sehingga kian hari jarak rumah mereka dengan bibir pantai kian dekat Di daerah Pantai Munduk Asem. Selain rumah 20 KK tersebut terdapat bangunan musholla yang merupakan tempat anak-anak melakukan pengajian dan jalan satu-satunya menghubungkan jalur tersebut, kini hanya tinggal semeter dari bibir pantai. Selain itu, tempat menambatkan perahu yang sehari-harinya digunakan untuk menyambung hidup sudah tenggelam (http://www.beritabali.com).
Kondisi serupa juga melanda Pantai Kelating, Kerambitan, Kabupaten Tabanan yang kini telah berdiri vila megah Alila. Menurut penuturan sejumlah warga setempat, sejak beberapa tahun belakangan, pantai itu mengalami abrasi hingga menggerus daratan sekitar 200 meter. Salah satu pelinggih (pura berukuran kecil) yang dulunya aman, kini telah berada di bibir tebing yang dikhawatirkan ombak besar membuatnya tergerus. Bahkan, banyak warga yang hingga kini masih mengantongi sertifikat, tetapi tanah miliknya sudah tidak ada. Kondisi itu terus terjadi sehingga membuat banyak pihak khawatir penggerusan akan semakin mengganas (http://bali.forumotion.net). Melihat kondisi masyarakat yang sudah menderita kerugian yang parah dan mengancam kelangsungan kehidupan mereka maka sudah merupakan kewajiban bagi pemerintah dan seluruh masyarakat untuk berpikir ulang untuk melakukan tindakan pencegahan peningkatan abrasi pantai ini secara menyeluruh, untuk menyelamatkan masyarakat, untuk menyelamatkan Bali dan untuk generasi yang akan datang.
BAB III
Pernyataan Masalah
A. Definisi Masalah
Uraian pada latar belakang memberikan gambaran bahwa pada dasarnya situasi masalah yang dihadapi adalah semakin tingginya tingkat kerusakan pantai-pantai di Bali akibat abrasi. Kondisi ini dapat kita lihat dari meta masalah berupa pemunduran tepi pantai hingga sampai 200 meter ke arah daratan seperti yang terjadi di pantai Munduk Asem kabupaten Jembrana, di kawasan Pantai Kelating kabupaten Tabanan, Pantai Sanur dan Pantai Kuta. Hal ini ditambah juga dengan semakin banyaknya masyarakat yang berbuat merusak lingkungan pantai dengan melakukan penambangan pasir di daerah muara seperti di daerah Muara Sungai Unda Kabupaten Klungkung dan di kawasan pantai daerah Kubu Kabupaten Karangasem. Tingkat kerusakan hutan mangrove juga semakin banyak karena ulah masyarakat yang membabat hutan untuk dijadikan tambak ataupun sekedar untuk diambil kayunya.
Dari pemetaan masalah juga diketahui bahwa pelaku pariwisata memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan kerusakan pantai-pantai di Bali. Pembangunan villa, hotel, resort yang melanggar batas ketentuan sempadan pantai telah membuat kawasan pantai menjadi semakin sempit, dan mereduksi vegetasi alami sebagai penahan abrasi sehingga sangat gampang daerah pantai ini tergerus tanpa ada penahan. Penanganan swadaya oleh para pemilik hotel, restoran, vila dan bangunan lainnya dilakukan dengan membangun krib pada tepi pantai dengan pembetonan. Adanya pembangunan krib oleh pihak pelaku pariwisata yang tidak sesuai standar teknis ini justru memperparah abrasi di pantai sekitarnya. Karena gempuran daya gempuran ombak akan bergeser pada kawasan sekitarnya yang tidak dibangun krib. Umumnyapun krib-krib ini tidak bertahan lama dan mengalami kerusakan yang membuat pemandangan yang tidak indah di tepi pantai.
Penanganan abrasi yang dilakukan oleh pemerintah melalui pembuatan pemecah gelombang sejauh ini banyak mengalami kerusakan. Bahkan usianya ada yang hanya bertahan hingga di bawah tiga tahun seperti yangterjadi di kaeasan pantai Munduk Asem, Jembrana. Tahun 2007 lalu, Pemprop Bali telah membuat krib penahan abrasi sepanjang 300 meter namun sekarang bagian barat krib tersebut sudah jebol lantaran tidak kuat menahan hempasan ombak di pantai Munduk Asem ini (http://www.beritabali.com). Anggaran pemerintah untuk penanganan abrasi inipun masih kurang dan pelaksanaannya belum efektif. Tercatat hingga tahun 2008, penanganan pantai yang terabrasi sepanjang 44,999 km. Sementara sisanya sepanjang 46,071 km belum tertangani (http://myernestlove.blog.friendster.com). Kondisi ini menggambarkan bahwa pantai terabrasi yang baru dapat ditangani pemerintah kurang dari 50%, dan dari yang sudah tertangani itu sebagianada yang sudah rusak dan ada juga yang tidak efektif karena terkesan hanya memindahkan abrasi dari pantai kawasan wisata ke daerah pantai lainnya yang kurang dipergunakan untuk daerah wisata. Kurangnya perhatian pemerintah juga dapat dilihat di masing-masing sembilan daerah Kabupaten Kota yang ada di Bali. Daerah Kabupaten dan Kota tidak menganggarkan APBDnya untuk penanganan abrasi di daerahnya masing-masing. Mereka hanya mengandalkan kucuran dana dari pemerintah pusat dan dari pemerintah provinsi. Sebagai pihak yang paling dekat dengan masyarakat, khususnya dengan pelaku pariwisata, pemerintah Kabupaten Kota juga belum secara sepenuhnya menegakkan aturan mengenai batas pembangunan di daerah sempadan pantai. Banyak dari bangunan yang nyata-nyata melanggar ketentuan namun tidak ditindak secara tegas karena mereka memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PAD Kabupaten Kota melalui Pajak Hotel dan Restoran (PHR).
Tabel Tahapan Perumusan Masalah
No Tahapan Perumusan Masalah Penjelasan Ringkas
1 SITUASI MASALAH Semakin tingginya tingkat kerusakan pantai akibat abrasi
2 META MASALAH
• Adanya pemunduran tepi pantai hingga sampai 200 meter ke arah daratan
• Semakin banyak masyarakat yang berbuat merusak lingkungan pantai dengan melakukan penambangan pasir di daerah muara.
• Masyarakat pesisir yang kurang peduli lingkungan pantai.
• Pembabatan hutan mangrove yang bertambah banyak oleh masyarakat sekitar hutan.
• Pembangunan villa, hotel, resort yang melanggar batas ketentuan sempadan pantai.
• Adanya pembangunan krib oleh pihak pemilik hotel yang tidak sesuai standar teknis dan justru memperparah abrasi di pantai sekitarnya.
• Penanganan abrasi oleh pemerintah melalui pembuatan pemecah gelombang banyak yang rusak.
• Anggaran pemerintah untuk penanganan ini masih kurang dan pelaksanaannya belum efektif.
• Daerah Kabupaten dan Kota tidak menganggarkan APBDnya untuk penanganan abrasi di daerahnya masing-masing.
3 MASALAH SUBSTANTIF
Aspek Ekonomi/Anggaran : Alokasi anggaran pemerintah yang kurang untuk menangani abrasi, penambangan pasir pantai untuk keperluan ekonomis dan kegiatan pariwisata pantai yang hanya mengejar dolar (keuntungan).
Aspek Lingkungan : Kebiasaan masyarakat untuk mengambil kayu mangrove tanpa ada tindakan penanaman kembali telah menyebabkan kerusanakan hutan mangrove, pemerintah kurang perhatian terhadap lingkungan pantai dan pelaku industri pariwisata pantai yang merusak lingkungan.
Aspek Hukum : banyak tindakan perusakan hutan mangrove yang tidak ditindak tegas oleh pemerintah dan keberadaan bangunan hotel, vila dan resort yang melanggar ketentuan dan melewati sempadan pantai tidak di tindak tegas.
4 MASALAH FORMAL
Tingkat abrasi pantai dipengaruhi oleh perkembangan Industri wisata pantai, kepedulian masyarakat terhadap lingkungan pantai dan perhatian pemerintah dalam penanganan abrasi.
Dari pemetaan masalah, maka secara substantif permasalahan yang ada dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yakni dari aspek Ekonomi/Anggaran, Aspek Lingkungan dan Aspek Hukum seperti yang terlihat pada table diatas. Hal ini kemudian mengarahkan pada masalah formal mengenai tingkat abrasi pantai yang dipengaruhi oleh perkembangan industri wisata, kepedulian masyarakat pesisir dan perhatian pemerintah terhadap kondisi abrasi ini. Pertanyaannya bagaimana tindakan yang harus dilakukan dalam mengatasi tingginya tingkat tingkat abrasi pantai dipengaruhi oleh perkembangan Industri wisata pantai, kepedulian masyarakat terhadap lingkungan pantai dan perhatian pemerintah dalam penanganan abrasi? Hal itulah yang akan dicarikan solusi melalui pilihan alternatif-alternatif yang dapat diambil dan akhirnya menuju pada rekomendasi sebagai pilihan alternatif yang terbaik.
B. Pelaku Utama
Dari penjelasan yang telah disampaikan mulai Latar belakang masalah, lingkup dan Ragam masalah maka dapat diketahui dalam hal ini pihak-pihak yang terkait dalam permasalahan ini adalah pelaku pariwisata (khususnya wisata pantai), pemerintah utamanya pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota serta masyarakat kawasan pantai. Semua permasalahan abrasi ini nantinya akan berdampak pada kelangsungan kepariwisataan di Bali yang tentunya paling dirasakan oleh pelaku pariwisata, kepada pemerintah berupa penurunan pemasukan PAD melalui Pajak Hotel dan Restoran (PHR) dan masyarakat kawasan pantai yang kian terancam kelangsungan dan keselamatan hidupnya karena lahan yang mereka tempati semakin tergerus abrasi. Dalam jangka panjang tentunya permasalahan ini mengancam luas daratan Pulau Bali secara keseluruhan.
C. Tujuan dan Sasaran
Tujuan yang ingin dicapai adalah bagaimana mencegah semakin tingginya kerusakan pantai akibat abrasi dengan melibatkan semua pihak sebagai pelaku utama yang terlibat didalamnya untuk berusaha meminimalkan tindakan yang memicu meningkatnya abrasi pantai di Bali. Dengan ditekannya laju abrasi hingga mencapai angka terendah yang dapat dicapai (0%/nol persen) atau penurunan persentase peningkatan abrasi yang mencapai 200% pada dekade 1987-1997 dibandingkan dengan dekade 1997-2007, setidaknya kita menyelamatkan keberadaan daratan Bali agar tidak semakin mengecil dan juga menyalamatkan pantai sebagai salah satu objek wisata yang ditawarkan Bali pada wisatawan.
D. Ukuran Efektivitas
Efektivitas secara sederhana dapat digambarkan melalui kalimat apakah hasil yang diinginkan telah tercapai atau tidak. Kaitannya dengan permasalahan abrasi pada analisis ini, efektivitas dapat diukur melalui sejauhmana tujuan dan sasaran nantinya dapat tercapai. Indikator yang digunakan untuk mengetahui dan mengukur pencapaian tujuan yakni mencegah semakin tingginya kerusakan pantai akibat abrasi adalah dengan cara membandingkan tingkat abrasi pantai dengan laju peningkatan abrasi yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam jangka panjang dapat diukur dengan membandingkan laju abrasi periode 1987-1997 , periode 1997-2007 hingga nanti periode 2007-2017 dan selanjutnya. Perkembangan jangka pendek yang dapat dilihat adalah sejauh mana pemunduran daratan masing-masing pantai dalam tiap tahun akibat abrasi.
E. Solusi yang Tersedia
Penanganan yang dapat dilakukan dalam upaya mengurangi laju abrasi secara umum dapat dilakukan melalui cara-cara yang dikelompokkan dalam dua kategori yakni pengamanan lunak (soft protection) dan pengamanan keras (hard protection) (http://www.baliprov.go.id). Pengamanan lunak atau soft protection dapat dilakukakan dalam tiga cara yakni dengan pengisian pasir, penggunaan terumbu karang dan penanaman hutan bakau (mangrove forest). Pengisian pasir bertujuan untuk mengganti pasir yang hilang akibat abrasi dan memberikan perlindungan pantai terhadap abrasi dalam bentuk sistem tanggul pasir. Hal yang harus diperhatikan adalah lokasi pasir harus memiliki kedalaman yang cukup sehingga pertambahan kedalaman akibat penggalian pasir tidak mempengaruhi pola gelombang dan arus yang pada gilirannya akan mengakibatkan abrasi ke pantai-pantai sekitarnya. Terumbu karang merupakan bentukan yang terdiri dari tumpukan zat kapur. Bentukan terumbu karang dibangun oleh hewan karang dan hewan-hewan serta tumbuhan lainnya yang mengandung zat kapur melalui proses biologi dan geologi dalam kurun waktu yang relatif lama. Fungsi terumbu karang selain sebagai bagian ekologis dari ekosistem pantai yang sangat kaya dengan produksi perikanan juga melindungi pantai dan ekosistem perairan dangkal lain dari hempasan ombak dan arus yang mengancam terjadinya abrasi. Hutan bakau (mangrove forest) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Fungsi dari hutan bakau selain sebagai tempat wisata dan penghasil kayu adalah sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung abrasi, penahan lumpur dan penangkap sediment.
Pengamanan keras atau hard protection dapat dilakukan dalam lima cara yaitu dengan revetment, seawall, groin/groyne, pemecah gelombang sejajar pantai dan stabilisasi pantai. Revetment adalah stuktur pelindung pantai yang dibuat sejajar pantai dan biasanya memiliki permukaan miring. Strukturnya biasa terdiri beton, timbunan batu, karung pasir, dan beronjong (gabion). Karena permukaannya terdiri dari timbunan batu/blok beton dengan rongga-rongga diantaranya, maka revetment lebih efektif untuk meredam energi gelombang. Seawall hampir serupa dengn revetment, yaitu dibuat sejajar pantai tapi seawall memiliki dinding relatif tegak atau lengkung. Seawall pada umumnya dibuat dari konstruksi padat seperti beton, turap baja/kayu, pasangan batu atau pipa beton sehingga seawall tidak meredam energi gelombang, tetapi gelombang yang memukul permukaan seawall akan dipantulkan kembali dan menyebabkan gerusan pada bagian tumitnya. Groin adalah struktur pengaman pantai yang dibangun menjorok relatif tegak lurus terhadap arah pantai. Bahan konstruksinya umumnya kayu, baja, beton (pipa beton), dan batu. Pemecah gelombang sejajar pantai dibuat terpisah ke arah lepas pantai, tetapi masih di dalam zona gelombang pecah (breaking zone). Bagian sisi luar pemecah gelombang memberikan perlindungan dengan meredam energi gelombang sehingga gelombang dan arus di belakangnya dapat dikurangi. Pantai di belakang struktur akan stabil dengan terbentuknya endapan sediment. Stabilisasi pantai dilakukan dengan membuat bangunan pengarah sediment seperti tanjung buatan, pemecah gelombang sejajar pantai, dan karang buatan yang dikombinasikan dengan pengisian pasir. Metode ini dilakukan apabila suatu kawasan pantai terdapat defisit sediment yang sangat besar sehingga dipandang perlu untuk mengembalikan kawasan pantai yang hilang akibat abrasi.
Dari aspek hukum juga akan berpengaruh terhadap tingkat abrasi karena penegakan hukum yang kurang akan menyebabkan semakin rusaknya hutan mangrove karena penebangan oleh masyarakat, pelanggaran-pelanggaran pembangunan hotel yang melewati sempadan pantai, pembangunan krib yang tidak sesuai kelayakan teknis, penambangan pasir kawasan muara dan pengambilan terumbu karang. Karena itu alternatif berupa penegakan hukum atau bahkan bila belum terdapat aturan yang mengaturnya, pemerintah dapat menerbitkan perda mengenai tindakan-tindakan yang dianggap merusak lingkungan pantai.
BAB IV
Alternatif Kebijakan
A. Deskripsi Alternatif
Dari beberapa solusi yang ada, tidak semuanya bisa dilaksanakan mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah sebagai motor penggerak (penyedia anggaran) dan pelaku lainnya baik masyarakat kawasan pantai dan pelaku pariwisata. Solusi yang ada harus disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan dan diarahkan pada tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Tidak semua kondisi pantai di Bali dapat dilakukan pengurangan tingkat abrasi dengan metode yang sama. Masing-masing pantai memiliki karakteristik dan fungsi tersendiri.
Ada kawasan pantai yang terdiri dari batu karang yang terjal seperti di Pantai Tanah Lot di Kabupaten Tabanan, Pantai Seraya di Kabupaten Karangasem, dan pantai-pantai yang membentang di hampir seluruh bagian Utara perairan Bali. Lain pula halnya dengan pantai yang berada pada Kawasan Selatan perairan Bali seperti pantai Sanur dan Pantai Sumawang di Kota Denpasar, Pantai Kuta, Pantai Canggu, Pantai Jimbaran di Kabupaten Badung yang terdiri dari pantai-pantai dengan hamparan pasir putih yang landai, sehingga banyak diminati wisatawan untuk melakukan aktivitas wisata pantai. Ada juga karakteristik lainnya berupa pantai yang tersusun dari kerikil dan koral seperti di Pantai Jasri dan Pantai Ujung di Kabupaten Karangasem, Pantai Kelating di Tabanan, Pantai Gerokgak di Kabupaten Buleleng. Dan pantai yang lain berupa daerah yang memiliki pasir putih dengan kombinasi karang seperti Pantai Candisasa dan Padangbai di Kabupaten Karangasem dan Pantai Nusa Dua dan Uluwatu di Kabupaten Badung serta pantai dengan hamparan hutan bakau yang membentang dari Pantai Sindhu di Denpasar hingga Teluk Benoa di Kabupaten Badung.
Perbedaan fungsi dari masing-masing pantai juga perlu mendapat perhatian dalam memilih suatu solusi. Pantai yang berfungsi dominan sebagai kawasan wisata (seperti Pantai Kuta, Nusa Dua, Jimbaran, Uluwatu, Tanah Lot, Candidasa, Lovina dll) harus dibedakan dengan yang memiliki fungsi dominan sebagai lokasi upacara socio-religius agama hindu (Pantai Lebih dan Masceti di Kabupaten Gianyar, Pantai Watu Klotok di Kabupaten Klungkung, dll) dan dengan kawasan pantai yang berfungsi sebagai kawasan hutan lindung untuk tanaman mangrove ( Pantai Sindhu-Pantai Benoa).
Ada sejumlah alternatif yang bisa dilaksanakan untuk menangani semakin tingginya tingkat abrasi di Bali. Pertama yakni dengan hutan bakau (mangrove) yaitu melalui penanaman tanaman bakau pada daerah yang potensial untuk berkembangnya vegetasi ini ataupun dengan memperbaiki dan meningkatkan kualitas dan kuantitas hutan bakau yang telah ada. Perusakan hutan mangrove yang telah ada harus segera mendapat perhatian untuk dibenahi. Penanaman yang dilakukan pemerintah dapat bekerjasama dengan para pelaku pariwisata sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan khususnya kawasan pantai melalui tindakan nyata maupun donasi dana. Upaya penanaman kembali mangrove juga bisa melibatkan masyarakat kawasan pantai dan LSM pemerhati lingkungan guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mangrove untuk mencegah abrasi serta menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap hutan mangrove yang mereka tanam sehingga dapat mengurangi tindakan perusakan hutan oleh masyarakat sendiri.
Alternatif Kedua, terkait Terumbu Karang. Sebagai bentukan alami dari hewan karang dan tumbuhan karang, terumbu karang yang proses pembentukannya memerlukan waktu yang relatif lama harus dilestarikan agar memberikan manfaat maksimal dalam meredam gelombang dan arus bawah air laut.
Selanjutnya alternatif Ketiga, Peningkatan Anggaran Penanganan Abrasi, dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan terutama Kabupaten Kota untuk mengalokasikan dana pembangunan pemecah gelomang sejajar pantai dan stabilisasi pantai serta untuk pengadaan bibit mangrove untuk penanaman kembali hutan yang telah rusak . Anggaran yang selama ini digunakan untuk penanganan abrasi bersumber dari pusat dan sebagian besar dari hutang luar negeri. Dengan dianggarkannya penanganan abrasi pada masing-masing kabupaten kota maka persentase kawasan abrasi yang dapat ditangani akan dapat lebih ditingkatkan dari kondisi sebelumnya yang hanya kurang dari 50% atau sejumlah 44,999 km. Pembangunan revetment dan seawall yang selama ini telah dilakukan banyak yang mengalami kegagalan dan hanya bertahan dalam kurun waktu yang relatif singkat seperti kasus di Pantai Munduk Asem, Jembrana.
Alternatif Keempat, Penegakan Aturan bagi pelaku yang melanggar : Para pelaku perusakan lingkungan yang terbukti melakukan perusakan harus mendapatkan tindakan hukum sesuai dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup yang berlaku, misalnya perusakan hutan mangrove oleh masyarakat pesisir, penambangan pasir dan terumbu karang oleh nelayan, pelanggaran bangunan yang melewati batas sempadan pantai oleh pelaku pariwisata. Yang banyak terjadi adalah kasus pelanggaran bangunan hotel, vila dan restoran yang melewati batas minimal sempadan pantai sepanjang 25 meter. Namun sayangnya tidak banyak tindakan pemerintah daerah yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi ini.
B. Perbandingan Konsekuensi Kebijakan
Dari berbagai alternatif kebijakan yang ada, akan muncul konsekuensi sebagai dampak negatif yang ditimbulkan atas alternatif tersebut. Pembangunan Pemecah gelomang Sejajar Pantai merusak keindahan pantai karena menghilangkan kesan alami pantai. Bila hal ini dilakukan pada kawasan wisata tentunya akan mengurangi daya tarik wisata yang dimiliki oleh tempat tersebut. Dalam kondisi ini perlu dipilih alternatif lainnya yakni stabilisasi pantai walaupun dengan biaya yang relatif lebih banyak. Hal ini dilakukakan untuk menjaga kelangsungan industri pariwisata sebagai ikon Bali di dunia pariwisata.
Penambangan terumbu karang sangat sulit untuk dilakukan pengawasan karena lokasinya di laut dan mencakup kawasan yang luas, serta kurangnya aparat (patroli laut oleh AL) yang bertanggungjawab untuk hal itu. Tindakan yang dilakukan dalam penambangan ini biasanya berlangsung sporadic sehingga sulit untuk dipantau.
Penegakan hukum akan mendapat resistensi dari masyarakat yang akan kehilangan mata pencahariannya seperti penambang pasir, penambang terumbu karang, masyarakat pesisir pencari kayu mangrove dan utamanya paling kuat dari pelaku pariwisata yang usahanya melanggar ketentuan sempadan pantai. Tapi jika hal ini tidak dilakukakan pada masa yang akan datang akan membawa kerugian yang jauh lebih besar berupa kehilangan asset berharga berupa SDA pantai yang menawarkan panorama yang indah.
C. Dampak Ganda dan Eksternalitas
Ada beberapa alternatif yang memiliki dampak ganda yang bermanfaat untuk hal lainnya atau dapat dikatakan memiliki eksternalitas posotif. Hal ini tentunya akan memberikan kemdahan-kemudahan dalam penerapan alernatif tersebut karena akan mendapat dukungan dari pihak-pihak yang menikmati ekternalitas tersebut.Penanaman mangrove misalnya, akan mendapat dukungan dari pemerhati lingkungan secara internasional karena akan menyerap gas polutan CO2 sebagai penyebab pemanasan global. Dalam waktu kedepan ini, perhatian untuk penanganan ancaman bahaya global warming akan semakin mencuat, hal ini tentunya bisa dimanfaatkan untuk mempermudah dalam mencari donator di dunia internasional. Banyak dari NGO/LSM internasional yang akan bersedia menjadi sponsor dan penyandang dana untuk kegiatan tersebut karena sejalan dengan proyek-proyek yang mereka rancang guna pengurangan dampak dari global warming.
Pelestarian terumbu karang dapat dijadikan sebagai ikon wisata tambahan, seperti penyediaan jasa diving, snorkeling, fishing dll. Dengan pelestarian terumbu karang, maka kawasan dasar laut akan menjadi indah dan menjadi tempat berlindung yang baik untuk ikan-ikan hias. Hal ini dapat dijadikan ikon wisata selain kawasan pantai yang terlindung dari abrasi oleh terumbu karang tersebut.
D. Hambatan dan Fisibilitas Politik
Ada beberapa kendala yang perlu diperhitungkan dalam penerapan alternatif-alternatif yang ada. Kenyataaan bahwa ketersediaan anggaran untuk menangani abrasi ini belum memadai untuk mencakup semua kawasan pantai yang mengalami abrasi. Keterbatasan dana ini disebabkan karena pembangunan Pemecah gelombang sejajar pantai dan Stabilisasi Pantai memerlukan biaya yang sangat tinggi. Dalam hal ini pemerintah harus menentukan daerah mana yang mendapatkan prioritas penanganan.
Dari segi politik, kurangnya goodwill dari Bupati/Walikota untuk memberikan perhatian terhadap penanganan abrasi. Terbukti dengan tidak adanya anggaran dana APBD yang diarahkan untuk penanganan abrasi. Kedepan, permasalahan abrasi ini dapat digunakan sebagai salah satu isu kampanye Pilkada untuk mendapatkan dukungan suara dari masyarakat pesisir dan juga pelaku pariwisata yang jumlahnya cukup banyak.
BAB V
Rekomendasi Kebijakan
A. Kriteria Alternatif Rekomendasi
Berdasarkan pada permasalahan yang telah dijelaskan pada bagian awal yakni adanya pengaruh dari tiga penyebab tingginya tingkat abrasi di Bali yaitu perkembangan Industri wisata pantai, kepedulian masyarakat terhadap lingkungan pantai dan perhatian pemerintah dalam penanganan abrasi maka dalam rekomendasi, alternatif yang dipilih harus dapat mencakup semua faktor penyebabnya. Dalam hal ini direkomendasikan untuk melaksanakan tiga kebijakan dengan kriteria bahwa kemungkinan efektivitas dalam pencapaian tujuan, keterlibatan aktor-aktor dalam implementasi kebijakan untuk ikut berpartisipasi, waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh manfaat, biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan, tingkat kesulitan yang dihadapi dalam penerapannya, dan luas areal atau kawasan yang tercakup melalui pelaksanan kebijakan tersebut.
Penilaian secara umum yakni dengan memberikan skor antara 1-3 sesuai dengan keterkaitannya terhadap pencegahan abrasi. Efektivitas dalam pencapaian tujuan dengan nilai “kurang efektif”, “cukup efektif” dan “efektif” dengan skor 1,2 dan 3. Partisipasi aktor yang terlibat yaitu pelaku “tunggal”, “beberapa” pelaku dan “semua” (skor 1,2 dan 3). Waktu pencapaian manfaat dikelompokkan menjadi tiga, kurang dari 2 tahun kategori “Cepat” (skor 3), antara 2-5 tahun kategori “Cukup Lama” (skor 2) dan lebih dari 5 tahun kategori “Lama”(skor 1). Dari segi biaya terbagi menjadi “Murah” dengan skor 3, “Sedang dengan skor 2 dan “Mahal” dengan skor 1. Tingkat kesulitan untuk dilaksanakan dengan kategori “Mudah”, “Cukup Mudah” dan “Sulit” dengan skor masing-masing 1,2 dan 3. Terakhir dari kriteria kawasan atau areal yang tercakup terbagi dalam kategori “Semua” daerah pantai dengan skor 3, “Beberapa” kawasan pantai dengan skor 2 dan pada kawasan tertentu saja atau “Sedikit” dengan skor 1. Setelah pemberian skor pada masing-masing alternatif dilakukan penjumlahan untuk mengetahui total skor yang diperoleh.
Tabel Penilaian Kriteria Alternatif
No
Kriteria Penilaian Aternatif Kebijakan
Aternatif 1 Aternatif 2 Aternatif 3 Aternatif 4
1 Efektivitas dalam pencapaian tujuan Efektif = 3 Efektif = 3 Efektif = 3 Efektif = 3
2 Partisipasi aktor yang terlibat Semua = 3 Tunggal = 1 Tunggal = 1 Tunggal = 1
3 Waktu pencapaian manfaat Cukup Lama = 2 Lama = 1 Cepat = 3 Cukup Lama = 2
4 Biaya yang diperlukan Sedang =2 Murah = 3 Mahal = 1 Murah = 3
5 Tingkat kesulitan Mudah = 3 Sulit =1 Mudah = 3 Cukup Mudah = 2
6 Kawasan yang tercakup Sedikit = 1 Beberapa = 2 Semua = 3 Semua = 3
JUMLAH TOTAL 14 11 14 14
Dari tabel penilaian didapatkan bahwa ada tiga alternatif yang memiliki skor yang sama, dan masing-masing alternatif itu memiliki keunggulan tersendiri dan bisa dilakukan secara bersama-sama. Ketiga alternatif dengan skor 14 seperti dalam tabel memiliki kontribusi masing-masing terhadap pencapaian tujuan yakni penurunan laju abrasi pantai di Bali, karena itu ketiga alternatif yakni alternatif 1,3 dan 4 yakni penanaman hutan bakau (mangrove), peningkatan anggaran penanganan abrasi, dan penegakan aturan sebenarnya bisa dilaksanakan secara bersama-sama dalam jangka panjang.
Namun mengingat urgensi penanganan masalah abrasi ini yang sudah mengancam keselamatan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir, maka yang menjadi prioritas adalah alternatif mana yang paling mampu menjawab terhadap kemampuan menyelamatkan masyarakat dari ancaman abrasi. Dari tiga alternatif yang dapat dipilih karena keunggulannya, maka dibuatkan scoring tambahan untuk alternatif tadi dan yang memiliki skor tertinggi adalah alternatif 3 yakni peningkatan anggaran untuk digunakan membangun pemecah gelomang sejajar pantai, stabilisasi pantai serta pengadaan bibit mangrove.
Tabel Penilaian Kriteria Alternatif
Dengan Tambahan Kriteria
No Kriteria Penilaian Aternatif Kebijakan
Aternatif 1 Aternatif 3 Aternatif 4
1 Efektivitas dalam pencapaian tujuan Efektif = 3 Efektif = 3 Efektif = 3
2 Partisipasi aktor yang terlibat Semua = 3 Tunggal = 1 Tunggal = 1
3 Waktu pencapaian manfaat Cukup Lama = 2 Cepat = 3 Cukup Lama = 2
4 Biaya yang diperlukan Sedang =2 Mahal = 1 Murah = 3
5 Tingkat kesulitan Mudah = 3 Mudah = 3 Cukup Mudah = 2
6 Kawasan yang tercakup Sedikit = 1 Semua = 3 Semua = 3
7 Kemampuan menyelamatkan masyarakat pesisir Kurang = 1 Mampu = 3 Kurang = 1
JUMLAH TOTAL 15 17 15
Dengan penambahan kriteria yang dilakukan maka pilihan alternatif yang menjadi pilihan karena urgensinya dalam menyelamatkan warga pesisir dari ancaman abrasi adalah alternatif 3 yaitu peningkatan anggaran penanganan abrasi, dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan terutama Kabupaten Kota untuk mengalokasikan dana pembangunan pemecah gelomang sejajar pantai dan stabilisasi pantai serta untuk pengadaan bibit mangrove untuk penanaman kembali hutan yang telah rusak.
B. Deskripsi Alternatif yang dipilih
Peningkatan anggaran untuk penanganan abrasi utamanya adalah untuk daerah Kabupaten Kota yang selama ini sama sekali belum menganggarkan penanganan masalah ini dalam APBDnya. Pemerintah Kabupaten Kota hanya mengandalkan kucuran dana setelah adanya penilaian abrasi oleh pemerintah pusat sebagai bencana. Terlihat bahwa dari konsep pemikirannya tidak mengarah pada pencegahan, tapi lebih memilih pengobatan atau tindakan yang dilakukan adalah setelah terjadi kerugian di masyarakat.
Dengan peningkatan anggaran ini, alokasi anggaran diarahkan pada pembangunan pemecah gelomang sejajar pantai dan stabilisasi pantai serta untuk pengadaan bibit mangrove untuk penanaman kembali hutan yang telah rusak. Pemilihan pembangunan pemecah gelombang sejajar pantai karena konstruksi ini paling efektif dibandingkan dengan membangun seawall, revetment atau yang lainnya. Kemampuan menahan gelombang dan mereduksi abrasi yang dihasilkannya juga paling besar. Daerah yang dibangun pemecah gelombang sejajar pantai mampu mempertahankan endapan sediment pembentuk pantai dan penggerusan tepi pantai sangat minimal.
Stabilisasi pantai dilakukan pada daerah kawasan pantai yang merupakan daerah wisata. Pembangunan pemecah gelombang sejajar pantai tidak sesuai dilakukan untuk daerah pariwisata karena akan mengurangi keindahan dan menggangu aktivitas pantai seperti surfing, jet skiing, banana boat dll. Hal ini dapat dilakukan pada kawasan pantai sebagai destinasi wisata yang merupakan favorit bagi wisatawan seperti Pantai Kuta dan Pantai Sanur.
Sementara peningkatan anggaran untuk pengadaan bibit mangrove akan menyelamatkan kawasan pantai yang merupakan daerah hutan mangrove seperti di Pantai Sindhu hinga ke arah Panai Benoa. Untuk menghemat biaya dalam pelaksanaan operasional penanaman bisa melibatkan pelaku pariwisata dan masyarakat serta LSM-LSM pemerhati lingkungan.
C. Kerangka Strategi Implementasi
Dalam mengimplementasikan kebijakan peningkatan anggaran perlu dibangun adanya kesepakatan bersama oleh seluruh Kabupaten Kota yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Disinilah peranan Provinsi dalam menyetujui rancangan anggaran Pemerintah Kabupaten Kota (RAPBD Kab/Kota) melalui wewenang persetujuan anggaran Kabupaten Kota di wilayahnya. Setelah pengalokasian untuk peningkatan anggaran, maka pelaksanaan proyek dikembalikan pada masing-masing daerah karena mereka lebih mengerti kebutuhan masyarakat, tentunya peran provinsi disini telah berubah sebagai pengawas dalam pelaksanaan anggaran.
Agar tidak mengurangi anggaran untuk keperluan lain, maka penganggaran untuk penanganan abrasi diambil dari PAD sektor pariwisata dengan persentase tertentu. Untuk mengatasi ketimpangan penghasilan dari sektor pariwisata dimana kabupaten Badung dan Kota Denpasar sebagai daerah penghasil PAD terbesar dari sektor ini, maka dana bagi hasil PHR Kabupaten Kota juga diarahkan untuk dialokasikan dalam menangani abrasi.
Setelah anggaran terpenuhi maka pelaksanan proyek dilakukan dengan prioritas pada daerah yang paling parah dan bergeser tiap tahunnya sehingga nantinya mampu mencakup semua wilayah pantai terabrasi, baru kemudian anggaran digunakan untuk pencegahan abrasi dan tidak menunggu hingga kondisi yang parah dan dianggap sebagai bencana. Anggaran yang dianggarkan provinsi digunakan untuk menutupi kekurangan daerah Kabupatn Kota yang budget anggarannya jumlahnya sedikit karena PAD sektor pariwisatanya tergolong kecil seperti Jembrana, Klungkung namun memiliki garis pantai yang panjang.
SUMBER DATA dan BACAAN
(http://bali.forumotion.net/tabanan-f3/di-tabanan-abrasi-75-km-t1438.html).
(http://myernestlove.blog.friendster.com/2008/12/abrasi-pantai-di-bali-mencapai-91070-km).
(http://winasa.info/main.php?go=berita&xkd=135).
(http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2007/8/22/b8.html).
(http://www.baliprov.go.id/index.php?action=media&task=read&id=2).
(http://www.beritabali.com/index.php?reg=&kat=pstw&s=news&id=200905210001&PHPSESSID=52e511b074e38b891ac66a6c1d7769c2).
(http://www.indosmarin.com/20080707-abrasi-pantai-di-bali-semakin-parah.html).
(http://www.kapanlagi.com/h/0000198709.html).
(http://www.kompas.com/read/xml/2008/02/13/22101626/lingkungan.pantai.bali. sudah.rusak).
(http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2008/09/03/brk,20080903-133648,id.html).
Proyek Pengamanan Pantai Bali, Dinas PU Propinsi Bali.
Kanwil Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Bali.
Menjawab Kemiskinan Dengan Sosial Capital
Menjawab Kemiskinan Dengan Sosial Capital
Melalui Penguatan Organisasi/Kelembagaan
(Tinjauan Program P2SEDT sebagai salah satu kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia)
Latar belakang dan Arah Kebijakan Program
Bercermin dari perjalanan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia, kita mengenal banyak sekali program yang telah dilaksanakan maupun masih berjalan yang diarahkan pada pengentasan kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan menjadi agenda kebijakan penting karena secara moral pemerintah harus mengemban tanggung jawab sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 yang secara eksplisit memberi amanat kepada pemerintah untuk melindungi hak-hak warga negara. Oleh karena itu menurut Muhadjir[1] (dalam Arjani, “Feminisasi Kemiskinan Dalam Kultur Patriaki”), jika pemerintah melalaikan masalah kemiskinan berarti pula pelanggaran terhadap konstitusi. Untuk itu pemerintah melaksanakan berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui program-program tertentu yang berevolusi dan berkembang terus dari waktu kewaktu. Pada masa orde baru misalnya, program Inpres Desa Tertingal (IDT) begitu terkenal sebagai salah satu program penanggulangaan daerah miskin yang diistilahkan dengan sebutan yang lebih halus “daerah tertinggal”. Pada masa krisis ekonomi pernah digulirkan program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE) yang secara spesifik ditujukan untuk mencegah, mengurangi peningkatan jumlah penduduk miskin mengantisipasi dampak krisis ekonomi bagi warga miskin. Dan program yang paling populer di masa sekarang adalah PNPM-Mandiri, yang juga merupakan suatu program yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat mandiri. Begitu bervariasinya program yang dilaksanakan pemerintah dalam upaya mengentaskan kemiskinan namun pada kenyataanya kondisi masyarakat miskin (tertinggal) di Indonesia berdasarkan sebaran wilayah kabupaten masih tergolong tinggi khususnya di bagian Indonesia Timur. Dari sejumlah 199 kabupaten tertinggal di Indonesia, data menunjukkan bahwa sebanyak 123 kabupaten atau 63% daerah tertinggal berada di kawasan Timur Indonesia, 58 kabupaten atau 28% berada di Pulau Sumatera, dan 18 kabupaten atau 8% berada di Pulau Jawa dan Bali[2].
Bila dikaitkan dengan teori kemiskinan, hal ini sesuai dengan teori Regional Imbalance[3], dimana keterbelakangan daerah dan ketimpangan antar daerah sebagai sesuatu yang inherent atau melekat dalam mekanisme pasar. Penerapan penyerahan perekonomian pada mekanisme pasar itulah yang secara mutlak menghasilkan kondisi kemiskinan pada daerah-daerah yang kalah bersaing. Hal ini dapat dijelaskan bahwa mekanisme pasar berakibat pada eksodus modal, tenaga kerja dan keuntungan yang dihasilkan kawasan pinggiran (luar jawa) memasuki ‘core regions’ sehingga yang paling menikmati hasil dari eksploitasi daerah-daerah pinggiran adalah daerah pusat. Lebih spesifik lagi kondisi ini bisa dijelaskan oleh Skenario Centripetal tendency[4] yaitu mengalirnya faktor modal, tenaga kerja dan keuntungan kekawasan pusat akibat pembiaran pasar. Kecenderungan centripetal hanya dapat dikoreksi dengan penyediaan peluang ekonomi di luar core regions, dan hal ini merupakan kewajiban negara untuk menciptakannya melalui program-program untuk memperkecil kesenjangan atau mengurangi dampak dari kecenderungan centripetal akibat mekanisme pasar. Tentunya hal ini dapat terlihat dari kebijakan pembentukan kementerian Negara PDT dengan berbagai programnya.
Melalui Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal dilaksanakan program-program untuk mempercepat pengurangan kesenjangan perkembangan antar daerah di Indonesia khususnya antara wilayah Indonesia Barat dan Timur yaitu dengan membuat beberapa program, diantaranya:
1. Program Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP).
2. Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK).
3. Program Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT).
4. Program Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT).
5. Program Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal (P4DT).
6. Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT).
Pada tulisan ini akan membahas salah satu program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan Kementerian PDT yakni Program Percepatan Pembangnan Sosial Ekonomi daerah Tertinggal (P2SEDT). Program P2SEDT di launching oleh Presiden SBY pada tahun 2007[5] dan ditetapkan dengan tujuan untuk melakukan penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya pembangunan. Secara terinci program P2SEDT ini memiliki tiga tujuan utama yakni :
- Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam menganalisis kondisi aktual yang terjadi pada lingkungannya, merumuskan masalah dan memanfaatkan peluang yang ada;
- Untuk meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan yang tumbuh, berkembang dan mengakar di masyarakat dalam proses pembangunan yang partisipatif di tingkat desa;
- Untuk mengembangkan mekanisme pengelolaan sumber daya pembangunan secara berkelanjutan demi kesejahteraan masyarakat.
Ruang lingkup kegiatan peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat melalui Instrumen/Program P2SEDT difokuskan pada kegiatan utama[6] yang terdiri dari:
- Bimbingan dan pelatihan menyangkut aspek kepemimpinan, kewirausahaan, pemberdayaan, serta perencanaan dan pengendalian;
- Penyebarluasan informasi kebijakan dan program pembangunan daerah tertinggal;
- Persiapan administrasi dalam rangka penerimaan bantuan sosial;
- Verifikasi terhadap proposal lembaga calon penerima bantuan sosial oleh Tim P2SEDT;
- Rekomendasi kepada lembaga yang telah lulus verifikasi;
- Penetapan lembaga penerima bantuan melalui SK Deputi IV Bidang Penguatan Kelembagaan dan Pendidikan atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA);
- Penanganan pengaduan masyarakat atas pelaksanaan kebijakan dan program pembangunan daerah tertinggal;
- Monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan;
- Mengembangkan mekanisme keberlanjutan atas hasil-hasil pelaksanaan kebijakan dan program pembangunan daerah tertinggal;
- Mengembangkan sistem pelaporan dan evaluasi secara komprehensif yang berbasis teknologi;
- Pelaporan kegiatan penguatan kelembagaan.
Keluaran sebagai sesuatu yang diharapkan dari kegiatan Instrumen/ Program P2SEDT ini yaitu berupa:
- Terbina, berkembangnya dan makin kuatnya kelembagaan dalam masyarakat;
- Meningkatnya kerja sama antar kelompok;
- Terbangunnya pengetahuan berorganisasi dan menguatnya kelembagaan di masyarakat setempat;
- Meningkatnya keterampilan warga lokal;
- Meningkatnya produktivitas dan kapasitas kelembagaan masyarakat lokal.
Dari keseluruhan ruang lingkup dan keluaran yang diharapkan dalam pelaksanaan program P2SEDT ini pada intinya mengarah pada penguatan kerjasama dan integrasi wilayah dalam suatu kawasan pada level desa agar masyarakat didalamnya mampu mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok kecil yang nantinya tergabung dalam kelompok yang lebih besar guna menentukan arah dan kebijakan pembangunan di wilayahnya masing-masing.
Sebagai hasil inisiasi dan konsolidasi atas kelembagaan yang sudah ada, maka dibentuklah organisasi pada tingkat desa dengan nama Kader Penggerak Pembangunan Satu Bangsa (KPPSB) yang merupakan suatu forum agen-agen perubahan menuju kesetaraan desa. Pemilihan dan pembentukan pengurus KPPSB difasilitasi oleh Tim Fasilitator Desa (TFD) dan ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati. Struktur KPPSB terdiri atas:
- Penasihat,
- Ketua,
- Sekretaris,
- Bendahara,
- Seksi Ekonomi,
- Seksi Sosial,
- Seksi Infrastruktur.
Struktur KPPSB juga boleh dilengkapi dengan anggota yang bersifat swadaya. Tugas dari KPPSB adalah:
- Melakukan sosialisasi dan publikasi program kepada Organisasi Masyarakat Setempat (OMS) dan atau kelompok masyarakat;
- Melakukan pendataan dan pemetaan masalah-masalah pembangunan desa secara partisipatif sebagai bahan penyusunan perencanaan pembangunan desa, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang;
- Menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat tentang program pembangunan di desa;
- Melakukan upaya pemeliharaan dan pengembangan aset Instrumen/Program yang telah dilaksanakan di desa;
- Menyelenggarakan administrasi keuangan dan membuat laporan kegiatan KPPSB.
Fungsi KPPSB adalah:
- Memfasilitasi pemilihan kelompok masyarakat penerima/pemanfaat program sesuai kriteria, syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku (sesuai juklak masing-masing Instrumen/Program) untuk diusulkan penetapannya oleh kepala daerah sebagai KPPSB pelaksana/penerima Instrumen/Program di desa;
- Memfasilitasi penyusunan proposal pembangunan di desa;
- Memfasilitasi dan membantu KPPSB pelaksana/penerima Instrumen/Program dalam membuat laporan keuangan, perkembangan fisik sesuai ketentuan;
- Mengorganisasikan seluruh kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal atau KPDT di desa.
Kesinambungan program merupakan suatu proses untuk mengupayakan agar hasil-hasil pelaksanaan kebijakan dan program pembangunan daerah tertinggal dapat terpelihara dan dikembangkan sehingga berdampak bagi kesejahteraan masyarakat. Penguatan kelembagaan masyarakat melalui Instrumen/Program P2SEDT harus dijamin dapat memberi manfaat kepada masyarakat secara berkesinambungan. Begitu kegiatan pembangunan baik dalam bidang fisik maupun non fisik selesai, pemanfaatannya harus segera diupayakan secara maksimal agar penerima manfaat dapat menikmatinya.
Kegiatan P2SEDT dan Capaian Program
Program P2SEDT merupakan penjabaran dari Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (Stranas PPDT), yang mempunyai lima prioritas dalam pengembangan kawasan tertinggal. Dua dari prioritas Stratanas PPDT 2004/2009 yakni pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kapasitas kelembagaan adalah dasar dari lahirnya P2SEDT. Secara skema kegiatan P2SEDT dapat digambarkan sebagai berikut.
Skema pelaksanaan Program P2SEDT
dalam sebuah desa model
Desa Model diintervensi 2-4 Kegiatan Instrumen KPDT |
Kedepan, Desa Model diintervensi oleh seluruh stakeholder |
DESA MODEL |
|
TAHAP INISIASI
DESA MODEL |
Terlihat begitu jelas dalam skema diatas bahwa kegiatan P2SEDT merupakan suatu program yang mengintegrasikan seluruh kegiatan Kementrian Negara PDT beserta program lainnya baik yang dilaksanakan kementerian lainnya, lembaga pemerintah non-departemen, pemerintah daerah, masyarakat, maupun swasta dalam sebuah desa tertinggal. Pada awalnya sebuah desa tertinggal yang dijadikan sebagai model akan diintervensi dengan dua sampai empat kegiatan Kementerian Negara PDT seperti Program Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP), Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), Program Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT), Program Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal (P4DT), Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT). Semua kegiatan intervensi itu terhimpun oleh Program Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT), dan setelah beberapa tahun hingga desa itu siap untuk diintervensi dengan semua stakeholder hingga mencapai kesetaraan dengan daerah-daerah maju di sekitarnya.
Secara teknis, kegiatan Program P2SEDT ini ditujukan kepada seluruh kabupaten yang termasuk dalam kategori daerah tertinggal sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal No 7 tahun 2007 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah tertinggal dengan total kabupaten tertinggal berjumlah 199 kabupaten. Bantuan yang diberikan adalah berupa dana stimulan untuk pembentukan organisasi pada tiap-tiap desa di kawasan tertinggal, dengan rincian setiap kabupaten mendapat jatah bantuan 10 desa, setiap desa mendapat dana stimulan sejumlah 10 juta rupiah. Pada tahun 2007 kegiatan ini baru di launching oleh presiden SBY dan belum ada data mengenai perkembangan program ini. Baru kemudian secara intensif pada tahun 2008 berhasil membentuk sejumlah 1399 kelompok KPPSB dan menggerakkan 5.000 forum rembug desa, tersebar di 148 kabupaten, 31 propinsi. Sementara perkembangan selanjutnya, jumlah dana yang dianggarkan untuk tahun 2008 sejumlah total 14 milyar sedangkan untuk tahun 2009, dianggarkan dana sejumlah 64 milyar[7].
Menyongsong tahun anggaran 2008-2009, KPDT telah mendesain program prioritas yang diusung melalui tema Green Development[8] yang meliputi lima prioritas, yang salah satunya adalah green movement. Green Movement (Kader Penggerak Pembangunan Satu Bangsa - KPPSB) menggunakan konsep Pembangunan Daerah Tertinggal yang mempunyai sasaran penguatan kelembagaan karena dirasakan selama ini kelembagaan yang ada kurang dimanfaatkan sebagai motor penggerak pembangunan daerah tertinggal. Pelaksanaannya melalui program peningkatan kapasitas kelembagaan dengan kegiatan P2SEDT dengan lokasi di daerah tertinggal. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang. P2SEDT akan melakukan investasi SDM sebanyak lebih kurang 15.000 kader di daerah tertinggal yang diharapkan akan menjadi motor penggerak pembangunan di daerah masing-masing pada masa mendatang.
Organisasi lokal dapat menjadi motor penggerak kemajuan suatu daerah. Oleh karena itu penguatan institusi lokal, seperti tujuan kegiatan P2SEDT perlu dilakukan dengan membentuk organisasi baru ataupun capacity building bagi organisasi yang telah ada[9]. Melalui pembentukan organisasi, masyarakat dapat berperan aktif dalam proses pembangunan daerah mereka karena hubungan kerjasama berupa collective action dalam organisasi itu merupakan social capital yang belakangan ini disadari sebagai salah satu modal yang dapat menunjang kegiatan perekonomian suatu kelompok masyarakat. Partisipasi juga harus melibatkan seluruh stakeholder terkait dan seluruh level pemerintahan sehingga akan muncul rasa memiliki terhadap program yang dijalankan. Partisipasi ini harus dimulai sejak awal, mulai dari perancangan program hingga pengambilan keputusan serta implementasi dilapangan. Pada tahap monitoring dan evaluasi diharapkan terdapat lembaga di tiap level daerah dengan dilengkapi tenaga terlatih dan peralatan yang memadai sehingga mampu menghasilkan manajemen yang transparan dan akuntabel.
Penguatan Kelembagaan sebagai Modal Sosial
Program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan Kementerian PDT memalui Program Percepatan Pembangnan Sosial Ekonomi daerah Tertinggal (P2SEDT) bertujuan untuk melakukan penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya pembangunan. Dari tujuan yang ingin dicapai ini didasarkan atas kesadaran bahwa pembangunan yang dilakukan tidak hanya pada penguatan kegiatan ekonomi semata, tapi bagaimana membangun dan menguatkan kelembagaaan yang sudah ada dan hidup di masyarakat untuk menopang kegiatan-kegiatan pembangunan kesejahteraan masyarakat sehingga mampu melepaskan mereka dari kemiskinan. Kelembagaan[10] atau Institusi diartikan sebagai serangkaian norma, nilai, aturan-aturan yang memfasilitasi (enabling) atau menghambat (constraining) perilaku individu maupun organisasi baik yang bebrbentuk formal maupun informal.
Pengentasan kemiskinan yang selama ini berfokus pada peningkatan kegiatan ekonomi yang mengesampingkan faktor-faktor penunjang lainnya banyak menemui kegagalan. Hal ini terlihat dari tidak berkurangnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Banyak pakar yang memberikan kritik terhadap ilmu ekonomi yang mengasumsikan manusia sebagai mahluk ekonomi, dimana segala sesuatu dipertimbangkan untung dan ruginya secara ekonomi. Carl Menger (1871)[11] mengkritik asumsi tentang “economic man” dengan lebih menganjurkan penggunaan pendekatan yang lebih realistik tentang perilaku manusia (human behavior). Menurutnya perilaku manusia tidaklah semata-mata dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi tapi dipengaruhi oleh “societal institutional forces”. Lebih lanjut Gustav Schmoller (1900-1904) melancarkan kritik bahwa ilmu ekonomi berkerja dalam konteks lingkungan sosial ekonomi tertentu yang dibentuk oleh “a set of cultural and historical forces”. Dari kritik Gustav Schmoller ini dapat dijelaskan bahwa lingkungan sosial juga berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi, dan tidak semata-mata dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi seperti yang dikemukakan oleh Carl Menger. Kekuatan kelembagaan sosial juga memberikan pengaruh terhadap jalannya perekonomian dan penggunaan modal sosial yang sifatnya enabling dapat menjadikan kegiatan pembangunan ekonomi menjadi lebih efektif dan efisien.
Daman Huri, dkk menjelaskan bahwa secara sosiologis, dimensi struktural kemiskinan dapat ditelusuri melalui institutional arrangements yang hidup dan berkembang dari masyarakat Indonesia[12]. Asumsi dasarnya adalah bahwa kemiskinan tidak semata-mata berakar pada kelemahan diri sebagaimana dipahami dalam perspektif kultural. Kemiskinan seperti ini justru merupakan dampak dari pilihan strategi pembangunan ekonomi yang selama ini dijalankan. Pada awalnya di negara-negara berkembang kemiskinan diukur dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar yang dinyatakan dalam ukuran kebutuhan hidup minimum atau kebutuhan kalori yang berimplikasi pada pendekatan yang digunakan untuk mengentaskan kemiskinan tersebut sehingga kebijakan penanggulangannya adalah dengan pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang diukur dalam GNP atau dalam peningkatan pendapatan perkapita. Namun pengalaman menunjukkan bahwa peningkatan produk domestik bruto tidak dengan sendirinya membawa peningkatan standar hidup masyarakat secara keseluruhan maupun individu. Hal ini karena pertumbuhan penduduk di negara berkembang jauh lebih besar dibandingkan tingkat pertumbuhan ekonominya sehingga secara komparatif tidak memberikan peningkatan taraf hidup secara signifikan. Ketidakadilan dan struktur ekonomi yang tidak berpihak kepada kaum miskin membuat output pertumbuhan tersebut tidak terdistribusi secara merata. Dalam teori trickle down effect yang mendasi kebijakan itu tidak berlaku sepenuhnya karena peningkatan perekonomian hanya akan menetes pada lapisan masyarakat tertentu yang secara komparatif memiliki pengetahuan, keterampilan, daya saing dan absorptive capacity yang lebih baik. Sementara mereka yang benar-benar miskin mengalami apa yang disebut sebagai kemiskinan absolut sangat jarang menikmati hasil pembangunan tersebut.
Dalam pelaksanaan pembangunan (dalam hal ini pengentasan kemiskinan) dapat memanfaatkan berbagai jenis capital[13] (Piere Bourdieu, 1985) :
· Economic Capital : berupa kepemilikan faktor-faktor produksi berupa modal uang, alat-alat produksi, dll.
· Cultural-Symbolic Capital : sikap dan perilaku tertentu yang terbentuk melalui proses sosialisasi yang panjang, diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
· Social Capital : intinya adalah Jaringan Sosial (Social Networks).
Namun selama ini perhatian terhadap social capital atau modal sosial dirasa masih kurang. Baru kemudian pada pelaksanaan program P2SEDT yang secara (sebatas) konsep memandang bahwa penguatan kelembagaan sebagai salah satu modal sosial dapat digunakan sebagai salah satu solusi untuk mengurangi atau bahkan mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Pengertian mengenai modal sosial dapat dijelaskan oleh berbagai definisi yang diberikan oleh para pakar seperti Putnam, Fukuyama, Coleman, Bourdieu dll[14]. Putnam, Fukuyama, Coleman maupun Bourdieu sepakat bahwa modal sosial merupakan sebuah sumber daya (resource). Namun demikian, Coleman cenderung memandang modal sosial sebagai sumber daya-sumber daya sosial yang tersedia bagi individu-individu dan keluarga untuk mencapai mobilitas sosial dan merupakan sumber daya yang bisa memfasilitasi individu dan keluarga memiliki sumber daya manusia (human capital) yang memadai. Menurut pandangan Putnam modal sosial dilihat sebagai sokongan bagi terciptanya masyarakat sipil (civil society) dan sesuatu yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembentukan institusi-institusi demokratis. Lalu Putnam mengidentifikasi tiga hal yang tercakup dalam modal sosial, yakni trust (kepercayaan), norms (norma), dan networks (jejaring). Sejalan dengan Putnam, Fukuyama memandang modal sosial sebagai trust, kemampuan orang-orang (masyarakat) bekerja bersama untuk tujuan umum (collective action) dalam kelompok atau organisasi. Bourdieu mendefinisikan modal sosial dengan memberikan penekanan pada jejaring sosial (social networks) yang memberikan akses terhadap sumber-sumber daya kelompok . Dengan memiliki akses terhadap sumber daya kelompok (group resources) diharapkan seorang individu pada akhirnya akan menikmati manfaat ekonomis. Manfaat ekonomis ini hanya akan dinikmati individu apabila individu tersebut secara terus-menerus terlibat dalam kelompok tersebut.
Dari berbagai penjelasan mengenai modal sosial oleh pakar-pakar diatas dapat dikatakan bahwa modal sosial yang dapat berbentuk kepercayaan, norma dan jejaring merupakan sesuatu yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dalam suatu kelompok atau organisasi. Penguatan kelembagaan masyarakat lokal sebagai tujuan program P2SEDT dapat dikatakan sebagai salah satu pembentukan modal sosial (meminjam istilah Daman Huri dkk yakni sebagai institutional arrangements) yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam upaya melepaskan diri dari jeratan kemiskinan. Pembentukan organisasi di level terbawah (tingkat desa) merupakan suatu pembentukan modal sosial yang memperkokoh fondasi perekonomian kelompok masyarakat dan jaringan antar kelompok ini secara kolektif akan mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat tersebut melalui kegiatan ekonomi yang lebih efisien.
Bagaimana Modal Sosial Menjawab Problema Kemiskinan (melalui program P2SEDT)
Menjawab problema kemiskinan sebenarnya harus di telusuri dari akar penyebab mengapa individu atau kelompok masyarakat menjadi miskin. Menurut Susetiawan[15] selama ini penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang meliputi rehabilitasi, jaminan sosial, pemberdayan sosial dan perlindungan sosial menjadi dominasi sektor publik yang dilakukan oleh organisasi publik (negara). Konsep kesejahteraan adalah dominasi keputusan organisasi formal negara, masyarakat maupun organisasi ekonomi dan bukan sebuah institusi kesejahteraan masyarakat (communitarian welfare) yang terpola dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Lebih lanjut Susetiawan mengatakan bahwa ditengah situasi ketidakberdayaan masyarakat melawan konstruksi neoliberalisme, ide untuk membangkitkan kembali kekuatan komunitas sangat diperlukan. Membangun institusi sosial (pattern of social relationship) yang dianggap mendukung kesejahteraan bagi komunitas menjadi sangat penting artinya untuk pembangunan bangsa, dan bukan menghilangkan institusi tradisional yang berbasis komunitas menjadi berbasis individu.
Kondisi kemiskinan yang terjadi di Indonesia selain ditinjau dari teori Regional Imbalance juga bisa kita tinjau dari teori struktural dependency. Menurut teori ini ketimpangan (baca: kemiskinan) adalah harga yang harus dibayar akibat dari pembangunan pusat yang kapitalis. Perekonomian kapitalis pada dasarnya bertujuan bagaimana menumpuk modal ekonomi sebanyak-banyaknya untuk memperoleh keuntungan untuk menambah modal itu sendiri. Hal ini yang menyebabkan kegiatannya selalu terkait dengan eksploitasi sumber-sumber ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang paling maksimal tanpa memperhitungkan eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari kegiatan itu. Menurut Susetiawan pembangunan yang selama ini dilakukan di Indonesia adalah ide dari negara maju yang jauh terlebih dahulu berkembang dengan paham kapitalis indutrialnya (industrial capitalisme) yang pada tahap tertentu membutuhkan perluasan pasar (market expantion)[16]. Hal itu dilakukan dengan memberikan bantuan dana kepada negara-negara berkembang melalui lembaga keuangan internasional yang disalurkan dalam proyek-proyek pembangunan berkedok pengentasan kemiskinan.
Lebih jauh lagi struktural dependency ini dijelaskan oleh teori Gunder Frank yang mengatakan bahwa keterbelakangan adalah produk tunggal dari proses sejarah pertumbuhan kapitalisme. Dalam teori Gunder Frank menjelaskan problematika kemiskinan melalui konsep “metropolis-satelit”. Hubungan asimetris antar negara dimana “metropolis” (dalam hal ini adalah negara-negara sponsor seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa) memonopoli atas keseluruhan jalinan yang terjadi, terutama pada aktivitas ekonomi pada “satelit” (negara-negara berkembang termasuk Indonesia) yang pada ujungnya melahirkan kemiskinan. Bukan hanya sampai pada hubungan eksploitasi antara negara maju dengan negara berkembang, bahkan hubungan asimetris mereproduksi diri tidak berakhir pada hubungan antar negara, tetapi hingga pada level daerah dalam suatu negara (hubungan eksploitatif berjenjang) seperti bagaimana Jakarta mengeksploitasi daerah-daerah penghasil tambang yang sangat jelas kita temui pada masa orde baru.
Untuk menjelaskan bagaimana bekerjanya modal sosial dalam membebaskan kelompok masyarakat dari belenggu kemiskinan kita bisa merefleksi pada latar belakang munculnya grameen bank yang digagas oleh Muhammad Yunus dalam rangka memerangi kemiskinan di Bangladesh. Pada awalnya teknis pemberian bantuan kredit grameen bank bagi masyarakat miskin (khususnya para perempuan) dilakukan dengan membentuk kelompok yang terdiri dari lima orang anggota. Kegiatan dimulai dari perekrutan anggota sejumlah lima orang dalam satu kelompok, kemudian pinjaman akan diberikan kepada dua anggotanya. Baru kemudian setelah melakukan cicilan pembayaran reguler selama enam minggu maka dua anggota berikutnya akan memperoleh pinjaman dan satu orang terakhir menjadi ketua kelompok tersebut memperoleh pinjaman terakhir. Jika seseorang tidak mampu atau tidak mau membayar kembali pinjamannya, kelompoknya akan dianggap tidak layak memperoleh kredit yang lebih besar di tahun berikutnya sampai masalah pembayaran ini bisa ditangulangi. Hal ini menciptakan insentif yang sangat kuat bagi peminjam untuk saling membantu memecahkan masalah dan yang lebih penting lagi ntuk mencegah timbulnya masalah kelompok. Diantara satu “sentra” (sebutan untuk delapan kelompok kecil (kelompok 5 orang)dalam satu desa) dapat meminta bantuna kepada kelompok yang lainnya. Seluruh kegiatan yang dikelola di “sentra” ini dilakukan secara terbuka untuk mengurangi bahaya korupsi, salah kelola dan salah paham. Hal ini membuat hubungan diantara sesama anggota dapat terjaga dengan baik, tidak ada rasa saling mencurigai[17].
Dalam konsep grameen bank ini sangat jelas terlihat bagaimana pengentasan kemiskinan dilakukan secara berkelompok, dimulai dari kelompok kecil hingga kelompok besar. Sistem kerjanya pun didasarkan atas kerjasama antar anggota yang bisa dipandang sebagai suatu tindakan kolektif. Terbangunnya kepercayaan antar anggota dan antar kelompok serta antara kelompok dengan lembaga pemberi kredit merupakan suatu jaringan (network) yang kuat yang dijadikan sebagai modal utama dalam melepaskan belenggu kemiskinan dalam kelompok masyarakat itu sendiri. Selain itu melalui pembentukan kelompok-kelompok masyarakat juga dapat mengajarkan kepada anggotanya bagaimana tanggung jawab yang harus diemban oleh masing-masing anggota dan secara kolektif oleh organisasi tersebut. Hal ini dapat dipandang sebagai upaya capacity building maupun pembangunan suatu institusi atau organisasi yang didasarkan pada kerjasama, rasa saling percaya, kerja keras, dan jejaring untuk mengangkat taraf kehidupan para anggotanya. Bila dibandingkan konsep ini sejalan dengan tujuan program P2SEDT yakni penguatan kelembagaan lokal dalam masyarakat melalui pemberdayaan kelompok masyarakat ataupun masyarakat adat setempat.
Pelaksanaan program P2SEDT merupakan suatu program yang digulirkan untuk bisa mengintegrasikan kegiatan-kegiatan pengentasan lainnya baik yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara PDT maupun program-progam departemen lainnya yang sama-sama bertujuan mengentaskan kemiskinan. Penguatan kelembagaan yang berakar dari masyarakat itu sendiri diharapkan mempu mensinergikan semua program pembangunan di desa tersebut dengan melibatkan partisipasi warga lokal mulai dari tingkat perancangan program, pelaksanaan dan yang tidak kalah penting bagaimana memanfaatkan pembangunan yang telah ada agar bisa berkelanjutan dan memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat luas. Secara lebih besar program ini mampu mengintegrasikan program pembangunan dalam wilayah yang lebih luas, misalnya pada beberapa desa yang tergabung menjadi suatu kawasan perkebunan, pertanian, peternakan maupun sentra industri berskala rumah tangga. Nantinya diharapkan melalui program ini bisa meningkatkan kemampuan suatu kawasan atau daerah sehingga tidak lagi termasuk dalam daerah tertinggal.
Pengenalan metode organisasi modern (disertai dengan struktur formal dengan tugas dan fungsi yang jelas) yang diinisiasikan kedalam KPPSB dalam suatu desa diharapkan mampu memberikan kontribusi positif serta menjadi pelengkap atas kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh organisasi atau lembaga adat yang memang sudah ada dan berkembang di daerah tersebut, bukan bertujuan untuk mematikan lembaga-lembaga adat yang sudah ada sejak lama. Bahkan keduanya dapat melebur dalam suatu kolaborasi untuk mencapai tujuan pembangunan seperti yang diinginkan masyarakat.
Bila ditinjau dari konsep pengentasan kemiskinan, maka program P2SEDT bisa dijelaskan dengan konsep pendekatan integrasi wilayah (spatial integration approach)[18] yang pada dasarnya ingin mensejajarkan daerah-daerah sehingga tidak ada lagi daerah tertinggal. Tidak ada kesenjangan atau ketimpangan antara desa dengan kota, pusat dengan pinggiran. Tindakan ini dilakukan dengan mengintegrasikan sektor ekonomi-sosial-politik daerah-daerah yang berdampingan. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat keterkaitan (linkages) melalui pengaturan distribusi aliran sumber daya. Disinilah peran kebijakan pemerintah yang tidak hanya memusatkan pembangunan di kota, melainkan melakukan penyebaran pembangunan yang merata keseluruh wilayah untuk menghilangkan ketimpangan yang hingga kini masih kita lihat antara wilayah Indonesia Barat dan Timur. Pelaksanaan kebijakan inilah yang kemudian diorganisasikan oleh kader-kader KPPSB yang dibentuk di desa-desa tertinggal sesuai dengan tugas dan fungsi dari organisasi bentukan program P2SEDT ini.
Pada seminar nasional P2SEDT yang berlangsung di Jakarta tangggal 5 November 2008[19], dalam sambutan Menneg PPN/ Kepala Bappenas yang dibacakan oleh Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah menemukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi paruh waktu RPJMN 2004-2009, beberapa hal yang menjadi penyebab ketertinggalan suatu daerah antara lain; (1) pelaksanaan kebijakan pembangunan yang masih relatif sektoral/parsial; (2) penyusunan kebijakan kebijakan yang jangka pendek atau berorientasi proyek; (3) Kecenderungan pelayanan publik yang mengarah pada orientasi politis; (4) Belum dimasukkannya dimensi keruangan/ spasial dalam perencanaan pembangunan daerah tertinggal, yang terkait dengan belum tegasnya keterkaitan fungsional antara daerah tertinggal dengan kawasan strategis dan cepat tumbuh.
Dari evaluasi penyebab ketertinggalan suatu daerah itu maka dapat dipahami bahwa selama ini pembangunan atau program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat belum mepertimbangkan dimensi keruangan /spatial dan program itu cenderung terpisah (parsial/sektoral) antara satu dengan yang lainnya. Pendekatan integrasi wilayah (spatial integration approach) yang mendasari program P2SEDT dengan pembentukan Kader KPPSB yang bertugas mengorganisasikan seluruh kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah atau kawasan ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas evaluasi paruh waktu RPJM tahun 2004-2009. Melalui program P2SEDT yang dirancang begitu komprehensif ini diharapkan memberikan seberkas cahaya terang bagi upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Kelemahan dan Kelebihan Program P2SEDT
Pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan kelompok-kelompok sosial dapat membantu kaum miskin mengorganisir diri, meningkatkan kemampuan, memperjuangkan kepentingan melalui sistem sejalan dengan program P2SEDT yang mengutamakan penguatan kelembagaan untuk mengatasi salah satu faktor penyebab daerah dikategorikan tertinggal yakni faktor Sumber Daya Manusia. Pada umumnya masyarakat didaerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang[20]. P2SEDT akan melakukan investasi SDM sebanyak lebih kurang 15.000 kader di daerah tertinggal yang diharapkan akan menjadi motor penggerak pembangunan di daerah masing-masing di masa mendatang[21].
Sebagai suatu program yang menjadi salah satu tumpuan harapan untuk mampu mengangkat perekonomian penduduk miskin di daerah-daerah tertinggal, tentunya program P2SEDT ini memiliki sisi positif dan negatif. Salah satu kelemahan dari program ini adalah terbatasnya jumlah desa yang mendapatkan bantuan (hanya 10 desa dalam satu Kabupaten tertinggal), padahal suatu daerah terpencil kemungkinan memiliki jumlah desa tertinggal yang lebih dari sepuluh. Di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali (satu-satunya kabupaten tertinggal di Bali) misalnya, jumlah desa yang mendapatkan program P2SEDT jumlahnya tidak sebanding jumlah desa yang masih memerlukan bantuan untuk pengembangan kelembagaan untuk mengintegrasikan program kebijakan pembangunan dan pengentasan kemiskinan lainnya. Dari delapan kecamatan yang ada di Kabupaten Karangasem yang mendapatkan program ini tersebar hanya dalam tiga kecamatan saja. Kecamatan Kubu mendapatkan program P2SEDT di lima desa yang tergolong tertinggal yakni Desa Baturingit, Dukuh, Sukadana, Tianyar Barat dan Tianyar Tengah. Kecamatan Abang mendapatkan bantuan di dua desa yakni Desa Labasari dan Datah sementara Kecamatan Karangasem mendapat jatah tiga desa yakni Desa Seraya, Seraya Barat dan Seraya Timur[22]. Padahal masih terdapat banyak desa di Kecamatan Rendang, Kecamatan Sidemen dan Kecamatan Bebandem yang masih merupakan daerah-daerah kantong kemiskinan di kabupaten ini. Namun karena keterbatasan jumlah desa yang bisa menerima maka desa-desa lainnya masih belum mendapatkan bantuan.
Cakupan wilayah yang dapat dijangkau oleh program ini belum mampu meng-cover seluruh Kabupaten tertinggal di Indonesia yang jumlahnya mencapai 199 kabupaten yang ditetapkan oleh Kementerian Negara PDT sebagai daerah tertinggal, walaupun dalam tahun 2009 direncanakan semua kabupaten tertinggal yang tersebar dalam 32 provinsi kecuali DKI Jakarta akan mendapatkan program P2SEDT. Kemudian, kelemahan yang lain adalah program ini kurang mendapat perhatian dari berbagai lapisan masyarakat. Selain karena manfaatnya yang tidak bisa dirasakan dalam waktu yang instan karena investasi ini merupakan investasi jangka panjang, juga karena kucuran dana yang sangat minimum, hanya Rp 10 juta per desa. Hal ini yang menyebabkan program ini tidak diminati, sebab tidak menawarkan keuntungan secara ekonomis, seperti program-program lain, misal PNPM Mandiri, P2KP maupun PPK yang mendapatkan pembiayaan hingga milyaran rupiah untuk tiap-tiap kecamatan.
Menengok pada kegiatan P2SEDT yang merupakan suatu program yang berupaya mengintegrasikan semua program-program dan kebijakan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, termasuk upaya mensosialisasikan program lainnya agar diterima dan didukung masyarakat, alangkah baiknya bila sebagian dana program lainnya yang begitu melimpah dialokasikan sebagian untuk mensukseskan program P2SEDT ini karena pada dasarnya keberhasilan program ini akan menunjang keberhasilan program-program lainnya. Pengembangan lembaga-lembaga lokal agar dapat menopang kegiatan perekonomian dan pembangunan tidak akan cukup dengan jumlah dana yang begitu kecil, sementara gaji seorang coordinator kabupaten untuk program P2KP atau PPK bisa mencapai tujuh hingga delapan juta tiap bulan[23], suatu kondisi yang sangat ironis bila dibandingkan dengan dana sepuluh juta untuk satu tahun program P2SEDT.
Tetapi disisi lain, program ini juga menawarkan beberapa kelebihan. Yaitu memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengawasi pembangunan yang ada di desanya. Kemudian masyarakat juga mendapat pelatihan bagaimana mengorganisir diri lebih baik, daripada bekerja secara parsial. Sehingga selain integritas akan tercipta juga masyarakat akan mendapat kepuasan dari pembanguan yang dilakukan dengan usahanya sendiri. Program ini juga mampu menumbuhkan kembali dan mengembangkan kearifan lokal masyarakat yang telah tumbuh sejak dahulu di daerahnya untuk dapat dimanfaatkan dalam menunjang kelancaran program-program pengentasan kemiskinan.
SUMBER BACAAN
Bahan kuliah Isu dan Kebijakan penanggulangan Kemiskinan, Dosen: Dr. Ambar Widaningrum, Yogyakarta.
Bahan kuliah Pengembangan Kelembagaan MAP-UGM, 11 November 2009, Dosen Dr. Erwan Agus Purwanto, Yogyakarta.
Bahan kuliah Pengembangan Kelembagaan MAP-UGM, 19 Agustus 2009, Dosen Dr. Dewi Haryani Susilastuti, Yogyakarta.
Daman Huri, Moh. Miftahusyaian, Ronald J Warsa, Sutumo, Yudha Aminta (2008), Demokrasi dan Kemiskinan, Penerbit Program Sekolah Demokrasi PLaCIDS (Public Policy Analysis and Community Development Studies) Averroes dan KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi), Malang.
Kementerian PDT (2007), Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertingal (Stratanas PPDT) tahun 2004-2009, Jakarta.
Susetiawan (2009), Working paper “Pembangunan dan Kesejahteraan yang Terpasung (Ketidakberdayan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme), Yogyakarta.
Yunus, Muhammad (2008), Bank Kaum Miskin (Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi Kemiskinan) halaman 63-67, Penerbit Marjin Kiri (PT Cipta Lintas Wacana), Depok.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/feminisasi%20kemiskinan%20%20dalam%20%20kultur%20patriarki.pdf
http://news.okezone.com
http://stefanusrahoyo.blogspot.com
http://wap.fasilitator-masyarakat.org/index.php?pg=detailArtikel&id=142
http://www.ppk.or.id/downloads/KEBIJAKAN%20PERCEPATAN%20PEMBANGUNAN%20PDT.pdf
Menjawab Kemiskinan Dengan Social Capital
Melalui Penguatan Organisasi/Kelembagaan
(Tinjauan Program P2SEDT sebagai salah satu kebijakan
dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia)
Tugas Mata Kuliah
Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Dosen :
Prof. Dr. Susetiawan
Oleh : I Gede Budie Trisnawan, S.STP
NIM 08/291144/PMU/6048
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2009
Menjawab Kemiskinan Dengan Social Capital
Melalui Penguatan Organisasi/Kelembagaan
(Tinjauan Program P2SEDT sebagai salah satu kebijakan
dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia)
Tugas Mata Kuliah
Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Dosen :
Dr Ambar Widaningrum
Oleh : I Gede Budie Trisnawan, S.STP
NIM 08/291144/PMU/6048
PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2009
[1] http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/feminisasi%20kemiskinan%20%20dalam%20%20kultur%20patriarki.pdf
[2] Biro Humas dan TU Pimpinan. 2008. Seminar Nasional Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal. http://www.bappenas.go.id/node/152/1493/seminar-nasional-percepatan-pembangunan-sosial-ekonomi-daerah-tertinggal/.
[3] Bahan kuliah Isu dan Kebijakan penanggulangan Kemiskinan, dosen: Dr. Ambar Widaningrum.
[4] Ibid.
[5] http://news.okezone.com
[6] http://wap.fasilitator-masyarakat.org/index.php?pg=detailArtikel&id=142
[7] http://news.okezone.com
[8] http://www.ppk.or.id/downloads/KEBIJAKAN%20PERCEPATAN%20PEMBANGUNAN%20PDT.pdf
[9] http://www.setneg.go.id
[10] Bahan kuliah Pengembangan Kelembagaan MAP-UGM, 19 Agustus 2009, Dosen Dr. Dewi Haryani Susilastuti
[11] Bahan kuliah Pengembangan Kelembagaan MAP-UGM, 11 November 2009, Dosen Dr. Erwan Agus Purwanto.
[12] Demokrasi dan Kemiskinan (halaman 82-83, tahun 2008), Penulis Daman Huri, Moh. Miftahusyaian, Ronald J Warsa, Sutumo, Yudha Aminta.
[13] Bahan kuliah Pengembangan Kelembagaan MAP-UGM, 11 November 2009, Dosen Dr. Erwan Agus Purwanto.
[14] http://stefanusrahoyo.blogspot.com dalam tulisannya Modal Sosial, Guanxi dan Kemiskinan.
[15] Working paper “Pembangunan dan Kesejahteraan yang Terpasung (Ketidakberdayan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme), tahun 2009.
[16] Ibid.
[17] Bank Kaum Miskin (Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi Kemiskinan) halaman 63-67, Penerbit Marjin Kiri (PT Cipta Lintas Wacana) Depok, Cetakan ke-4 tahun 2008.
[18] Bahan kuliah Isu dan Kebijakan penanggulangan Kemiskinan, dosen: Dr. Ambar Widaningrum.
[19] http://www.bappenas.go.id/node/152/1493/seminar-nasional-percepatan-pembangunan-sosial-ekonomi-daerah-tertinggal/
[20] Stranas PPDT 2007, hal.9
[21] http://news.okezone.com
[22] www.p2sedt.org
[23] Diperoleh dari wawancara (tanggal 30 November 2009) dengan I Nyoman Soko Wijaya, mantan konsultan P2KP kabupaten Karangasem tahun 2006.